Lima yang Mengubah Wajah KPK Tak Lagi Seperti Dulu
Reporter
Tempo.co
Editor
Iqbal Muhtarom
Minggu, 12 September 2021 12:09 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Sanksi ringan kepada salah satu pimpinan KPK Lili Pantauli Siregar, kian memperburuk citra KPK saat ini. Komisi Pemberantasan Korupsi yang sekarang rasanya sudah tidak spesial, ia hampir sama saja dengan lembaga lain yang ada di republik ini.
Tidak bisa dibayangkan, seorang pimpinan KPK yang tugasnya memberantas dan menindak korupsi, justru berkomunikasi dengan orang yang sedang diusut dugaan korupsinya oleh KPK.
Pelanggaran yang dilakukan Lili adalah memberikan informasi kepada Walikota Tanjung Balai, Syahrial tentang perkembangan kasus dugaan jual-beli jabatan di Pemerintah Kota Tanjung Balai yang tengah diusut KPK.
Padahal dalam Pasal 36 UU 30/2002 jo UU 19/2019 tentang KPK jelas disebutkan melarang pimpinan KPK berhubungan dengan pihak berperkara dengan alasan apapun. Hukuman atas pelanggaran Pasal 65 UU KPK pidana maksimal 5 tahun penjara.
Namun sayangnya, Lili hanya mendapat vonis pemotongan gaji dari gaji pokok yang ia terima selama setahun.
Menurut Indonesia Corruption Watch atau ICW, penurunan rating KPK bermula dari dua hulu, yakni buruknya seleksi pimpinan KPK periode 2019-2023 serta adanya revisi Undang-Undang KPK atau UU KPK.
ICW mencatat, sepanjang tahun 2020, setidaknya enam lembaga survei yang mengonfirmasi kemunduran kinerja KPK dan turunannya kepercayaan masyarakat.
<!--more-->
Peneliti ICW Kurnia Ramadhana mengatakan, berdasarkan survei yang dilakukan Alvara Research Center, KPK dilaporkan hanya menempati posisi kelima negara yang dipercayai. “Survei terbaru Indo Barometer menyebutkan tingkat kepercayaan publik terhadap KPK berada di nomor empat kalah dari TNI dan Polri,” kata Kurnia Ramadhana Selasa, 25 Februari 2021 lalu.
- Kasus Tes Wawasan Kebangsaan
Melalui tes wawasan kebangsaan, pimpinan KPK melakukan seleksi dan penyaringan terhadap pegawainya yang bisa diangkat sebagai ASN. Kebijakan ini merupakan konsekuensi atas revisi UU KPK, yang mengharuskan pegawai KPK adalah seorang ASN.
Belakangan, banyak pegawai yang tidak lolos tes wawasan kebangsaan atau TWK. Dan bukan kebetulan, mereka yang tidak lolos itu adalah para pegawai yang selama ini berada di garis depan dalam membongkar kasus korupsi.
Banyak dari mereka yang merupakan para penyidik senior dan juga penyidik muda yang aktif membongkar kasus-kasus korupsi besar, seperti korupsi E-KTP yang menyeret politikus ternama di negeri ini.
KPK di bawah kepemimpinan Firli Bahuri secara demonstratif menolak melaksanakan rekomendasi ombudsman RI terkait pelaksanaan tes wawasan kebangsaan atau TWK.
Tidak hanya menolak, KPK justru balik menyerang Ombudsman dengan membuat pernyataan bahwa lembaga pemantau pelayanan publik itu tak memiliki wewenang untuk ikut campur urusan internal KPK.
“Alih status pegawai adalah urusan kepegawaian, bukan layanan publik,” kata Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron dalam konferensi pers di kantornya, Kamis, 5 Agustus 2021.
Eks Pimpinan KPK Bambang Widjojanto menilai sikap pimpinan KPK tersebut telah merendahkan institusi KPK. “Secara sengaja menghina dan merendahkan kehormatan institusi KPK,” kata Bambang Widjojanto lewat keterangan tertulis, Jumat, 6 Agustus 2021.
- Pelanggaran Kode Etik di internal KPK
Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar diputus bersalah dalam sidang etik pada perkara Wali Kota Tanjungbalai. Ketua Dewas KPK Tumpak Hatorangan mengatakan Lili Pintauli telah melakukan dua pelanggaran yaitu menyalahgunakan pengaruh untuk kepentingan pribadi dan berhubungan dengan seseorang yang sedang diperiksa perkaranya oleh KPK.
Dewas menyatakan Lili melanggar Pasal 4 ayat 2 huruf b dan a dalam Peraturan Dewan Pengawas Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku KPK.
"Itu merupakan suatu pelanggaran etik yang dirumuskan dalam pakta integritas KPK," ujar Tumpak, Senin, 30 Agustus 2021.
Selain kasus Lili, pelanggaran kode etik juga pernah dilakukan pegawai internal KPK yaitu Mochamad Praswad Nugraha dan Muhammad Nor Prayoga. Keduanya diputuskan melakukan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku berupa perundungan dan pelecehan saat melakukan pemeriksaan terhadap saksi
Bahkan Ketua KPK Firli Bahuri juga diduga melanggar kode etik saat menyewa helicopter milik perusahaan swasta ketika berkunjung ke Palembang Sumatera Selatan. Firli diduga mendapat diskon harga saat menyewa helikopter tersebut.
<!--more-->
- Tuntutan Hukum Ringan
Akhir-akhir ini publik mulai gerah dengan KPK lantaran banyak terdakwa korupsi yang mendapat tuntutan hukum ringan. Salah satunya adalah terdakwa korupsi pengadaan bansos sembako Juliari P Batubara.
Jaksa Penuntut Umum atau JPU KPK menuntut ringan mantan Menteri Sosial tersebut dengan tuntutan hukuman 11 tahun penjara serta denda Rp 500 juta subsider 6 bulan, dengan pidana tambahan uang pengganti sebesar Rp14,5 miliar.
Sejumlah pihak menilai tuntutan KPK tersebut terkesan ganjil lantaran pasal 12 huruf b, Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau Tipikor yang menjadi dasar tuntutan sebenarnya mengakomodir penjatuhan hukuman hingga penjara seumur hidup dan denda Rp 1 miliar. Selain itu, tuntutan pembayaran pidana tambahan uang pengganti yang dituntut JPU KPK kurang dari 50 persen dari total nilai suap yang diterima Juliari.
Pelaksana tugas juru bicara KPK, Wli Fikri, mengatakan tuntutan jaksa terhadap bekas Juliari P. Batubara, berdasarkan fakta-fakta hasil persidangan perkara. “Bukan karena pengaruh adanya opini, keinginan maupun desakan pihak manapun,” kata Ali dalam keterangannya, Kamis, 29 Juli 2021.
- Makelar kasus di KPK
Siapa sangka, bila di KPK ada makelar kasus? Makelar kasus yang bisa memperdagangkan kasus yang tengah disidik KPK. Itulah yang dilakukan mantan penyidik KPK Stepanus Robin Pattuju.
Robin diduga memperdagangkan kasus jual beli jabatan di Kota Tanjungbalai. Robin meminta uang Rp 1,5 miliar kepada Wali Kota Tanjungbalai M Syahrial dengan janji akan menghentikan penyelidikan kasusnya di KPK .
Belakangan, seeprti terungkap dalam dakwaan jaksa di pengadilan, Robin yang sudah menjadi tersangka, juga memperdagangkan sejumlah kasus yang tengah diperiksa di KPK. Modusnya sama saja, meminta uang kepada orang yang tersangkut kasus dan menjanjikan kasusnya dihentikan.
<!--more-->
Dalam petikan dakwaan, KPK menyebut Robin telah menerima total Rp 11,025 miliar dari sejumlah orang. Dari mantan Bupati Kutai Kartanegara Rita Widyasari, Robin menerima Rp 5.197.800.000, Rp 1,695 miliar dari Wali Kota Tanjungbalai nonaktif M. Syahrial; Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin dan Aliza Gunado sebanyak Rp 3,009 miliar dan USD 36 ribu; Wali Kota Cimahi Ajay Muhammad Priatna sejumlah Rp 507 juta; dan Usman Effendi Rp 525 juta. Selain Azis dan Aliza, pemberi suap itu adalah orang yang pernah berperkara di KPK.
- Revisi UU KPK
Inilah hulu dari berubahnya wajah KPK. Revisi UU yang didukung Presiden dan DPR ini telah mengubah wajah KPK. Mendapat penentangan banyak pihak dan memaksa mahasiswa di banyak kota turun ke jalan, Presiden Jokowi dan DPR tetap menyetujui revisi UU KPK.
Peneliti ICW Kurnia Ramadhana, mengungkapkan, berlakunya UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK atau revisi UU KPK, memberikan imbas terhadap kinerja KPK yang menurun, sebab penindakan seperti penyadapan dan penyitaan barang bukti harus izin Dewan Pengawas KPK.
Kurnia mencontohkan, UU KPK yang awalnya tidak termasuk dalam Program Legislasi Nasional Prioritas 2019 tiba-tiba diselundupkan demi mempercepat proses revisi dan pengesahan. “Tak hanya itu, pada saat pengesahan di rapat paripurna DPR pun tidak memenuhi kuorum. Diduga hanya sekitar 80-90 anggota yang hadir dari total 560 anggota DPR RI,” ucap dia.
Kurnia mengatakan, beberapa saat setelah pimpinan KPK baru terpilih dan UU KPK baru disahkan, dampak buruknya langsung terlihat. “Sebagai contoh, pertama pimpinan KPK gagal menjelaskan persoalan terkait rencana penyegelan kantor PDIP yang batal. Kedua, pimpinan KPK gagal melindungi tim KPK yang sedang mencari Harun Masiku di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK),” kata Kurnia.
HENDRIK KHOIRUL MUHID
Baca juga: Gugatan Ditolak MA, Pegawai KPK Berharap Segera Ada Keputusan Jokowi Soal TWK