Tes PCR Mahal, ICW Duga Ada Potensi Konflik Pejabat Kemenkes Sebagai Komisaris

Jumat, 20 Agustus 2021 15:53 WIB

Fasilitas kesehatan layanan tes usap (swab) antigen dan PCR dikawasan Mampang Jakarta, Kamis 22 Juli 2021. Kementerian Kesehatan (Kemenkes) bersama BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan) sendiri telah menetapkan batasan tarif tertinggi pemeriksaan swab test antigen sebesar Rp250.000 untuk Pulau Jawa dan Rp275.000 untuk daerah di luar Pulau Jawa. Tempo/Tony Hartawan

TEMPO.CO, Jakarta - Indonesia Corruption Watch (ICW) menduga adanya potensi konflik kepentingan mahalnya harga pemeriksaan polymerase chain reaction atau Tes PCR di Indonesia. Dalam hal ini, ICW menyoroti posisi Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan, Abdul Kadir, sebagai Komisaris Utama PT Kimia Farma Tbk (Persero).

Abdul Kadir meneken Surat Edaran Nomor HK.02.02/I/3713/2020 yang menetapkan tarif tertinggi untuk pemeriksaan PCR sebesar Rp 900.000 pada 5 Oktober 2020. Beberapa hari lalu, pemerintah menurunkan tarif PCR menjadi 495 ribu. Abdul Kadir ditunjuk sebagai Komisaris Utama PT Kimia Farma Tbk (Persero) pada 28 April 2021.

"Pertanyaan sederhana kami, bagaimana mungkin seseorang yang membuat regulasi tentang tarif pemeriksaan PCR, menduduki posisi Komisaris Utama di BUMN Kimia Farma yang juga bertindak sebagai pihak penyedia jasa layanan PCR?," ujar Peneliti ICW Wana Alamsyah dalam diskusi daring, Jumat, 20 Agustus 2021.

Wana menduga, jangan-jangan selama ini pemerintah tidak mengevaluasi mahalnya PCR karena salah satu orang yang menetapkan tarif pemeriksaan tersebut, merupakan orang yang juga menyediakan jasa pelayanan.

"Sehingga ada kemungkinan keengganan melakukan evaluasi tersebut. Sebab jika kita melihat potensi penerimaan terhadap pemeriksaan PCR ini sangat besar," ujar Wana.

ICW mencatat, potensi keuntungan penyedia jasa PCR dihitung mulai Oktober 2020-Agustus 2021 mencapai Rp10,46 triliun. "Ini angka yang sangat besar," tuturnya.

Wana menyebut, pernyataannya tentu masih merupakan asumsi. "Kita tentu perlu men-challengge argumentasi Kemenkes dalam hal ini," tuturnya.

Soal potensi konflik kepentingan Abdul Kadir, ICW menduga setidaknya ada dua hal yang bertentangan dengan undang-undang. Pertama, berdasarkan Pasal 17 UU 25/2009 tentang Pelayanan Publik dijelaskan bahwa pelaksana dilarang merangkap sebagai komisaris atau pengurus organisasi usaha bagi pelaksana yang berasal dari lingkungan instansi pemerintah, badan usaha milik negara, dan badan usaha milik daerah.

Pasal 1 ayat (5) menjelaskan, pelaksana adalah pejabat, pegawai, petugas, dan setiap orang yang bekerja di dalam organisasi penyelenggara yang bertugas melaksanakan tindakan atau serangkaian tindakan pelayanan publik.

"Artinya Dirjen Yankes itu adalah pelaksana untuk pelayanan publik. Dan ketika Pak Abdul Kadir sebagai Dirjen Yankes merangkap sebagai komisaris, tentu bertentangan dengan undang-undang pelayanan publik," ujar Wana.

Selanjutnya, ujar dia, dalam Pasal 33 UU 19/2003 tentang BUMN juga dijelaskan bahwa anggota komisaris dilarang memangku jabatan rangkap sebagai: anggota Direksi pada BUMN, badan usaha milik daerah, badan usaha Milik swasta, dan jabatan lain yang dapat menimbulkan benturan kepentingan; dan/atau ayat 2 (2) jabatan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

ICW memandang, normalisasi konflik kepentingan di era Presiden Joko Widodo ini menimbulkan dampak serius bagi tata kelola pemerintahan dan kepentingan publik secara luas. "Dan sayangnya konflik kepentingan ini tidak dianggap sebagai sesuatu hal urgen untuk ditangani secara serius," ujar Wana soal mahalnya tes PCR.

Sementara itu, Dirjen Yankes Abdul Kadir menampik adanya konflik kepentingan dalam penetapan tarif PCR. "Saya ini diangkat jadi komisaris baru satu bulan. Jadi kalau dibilang sengaja misalnya memperlambat penurunan, bukan karena itu, saya kan baru satu bulan. Jadi tidak ada konflik kepentingan disitu," ujar Kadir saat dihubungi Tempo, Jumat, 20 Agustus 2021.

Menurut Abdul Kadir, penurunan tarif tes PCR baru bisa dilakukan karena harga reagen di pasaran juga turun. "Harga-harga reagen di pasaran itu sudah jauh lebih turun dibandingkan tahap awal pandemi Covid-19. Berdasarkan itulah maka dilakukan evaluasi batas atas tarif PCR," ujarnya.

Baca juga: Rumah Sakit dan Klinik Mulai Turunkan Harga Tes PCR

Berita terkait

Ini Pesan Jokowi ke Prabowo untuk Lanjutkan Program di Bidang Kesehatan

11 jam lalu

Ini Pesan Jokowi ke Prabowo untuk Lanjutkan Program di Bidang Kesehatan

Presiden Jokowi menyoroti urgensi peningkatan jumlah dokter spesialis di Indonesia. Apa pesan untuk pemimpin baru?

Baca Selengkapnya

Fakta Miris Indonesia Kekurangan Dokter Spesialis, Menkes: Jadi Masalah Hampir 80 tahun

1 hari lalu

Fakta Miris Indonesia Kekurangan Dokter Spesialis, Menkes: Jadi Masalah Hampir 80 tahun

Jokowi menyebut pemerintah baru mampu mencetak 2.700 dokter spesialis per tahun. Sementara pemerintah membutuhkan 29 ribu dokter spesialis.

Baca Selengkapnya

Atasi Ketimpangan Dokter Spesialis, Kemenkes Kembangkan Program Pendidikan Gratis

1 hari lalu

Atasi Ketimpangan Dokter Spesialis, Kemenkes Kembangkan Program Pendidikan Gratis

Kemenkes bekerja sama dengan sejumlah rumah sakit mengembangkan program pendidikan gratis bagi dokter spesialis.

Baca Selengkapnya

Jokowi Luncurkan 6 Program Pendidikan Dokter Spesialis Berbasis Rumah Sakit

1 hari lalu

Jokowi Luncurkan 6 Program Pendidikan Dokter Spesialis Berbasis Rumah Sakit

Presiden Jokowi menyoroti pentingnya infrastruktur kesehatan negara dalam jangka panjang.

Baca Selengkapnya

Kemenkes Buka Enam Prodi di RS Pendidikan Atasi Kekurangan Dokter Spesialis

2 hari lalu

Kemenkes Buka Enam Prodi di RS Pendidikan Atasi Kekurangan Dokter Spesialis

Salah satu masalah lagi yang ada di Indonesia adalah distribusi dokter spesialis. Hampir 80 tahun Indonesia merdeka belum pernah bisa terpecahkan.

Baca Selengkapnya

Komnas HAM Inisiasi Penilaian untuk Kementerian dan Lembaga, Ini Kategori Hak yang Dinilai

5 hari lalu

Komnas HAM Inisiasi Penilaian untuk Kementerian dan Lembaga, Ini Kategori Hak yang Dinilai

Komnas HAM menggunakan 127 indikator untuk mengukur pemenuhan kewajiban negara dalam pelaksanaan HAM.

Baca Selengkapnya

Kemenkes, UNDP dan WHO Luncurkan Green Climate Fund untuk Bangun Sistem Kesehatan Menghadapi Perubahan Iklim

5 hari lalu

Kemenkes, UNDP dan WHO Luncurkan Green Climate Fund untuk Bangun Sistem Kesehatan Menghadapi Perubahan Iklim

Inisiatif ini akan membantu sistem kesehatan Indonesia untuk menjadi lebih tangguh terhadap dampak perubahan iklim.

Baca Selengkapnya

Kemenkes: Waspada Email Phishing Mengatasnamakan SATUSEHAT

5 hari lalu

Kemenkes: Waspada Email Phishing Mengatasnamakan SATUSEHAT

Tautan phishing itu berisi permintaan verifikasi data kesehatan pada SATUSEHAT.

Baca Selengkapnya

Kemenkes, UNDP dan WHO Perkuat Layanan Kesehatan Hadapi Perubahan Iklim

7 hari lalu

Kemenkes, UNDP dan WHO Perkuat Layanan Kesehatan Hadapi Perubahan Iklim

Kemenkes, UNDP dan WHO kolaborasi proyek perkuat layanan kesehatan yang siap hadapi perubahan iklim.

Baca Selengkapnya

Upaya Kemenkes Atasi Banyaknya Warga Indonesia yang Pilih Berobat ke Luar Negeri

10 hari lalu

Upaya Kemenkes Atasi Banyaknya Warga Indonesia yang Pilih Berobat ke Luar Negeri

Ada sejumlah persoalan yang membuat banyak warga Indonesia lebih memilih berobat ke luar negeri.

Baca Selengkapnya