Menakar Hukuman Mati Bagi Koruptor di UU No. 31/1999 tentang Tipikor
Reporter
Tempo.co
Editor
S. Dian Andryanto
Jumat, 30 Juli 2021 14:45 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Petrus Richard Sianturi, Pendiri Legal Talk Society memberikan opininya di Tempo pada 11 Desember 2020 lalu. Hal ini tercantum dalam tulisan Polemik Hukuman Mati di Tengah Bencana. Menurutnya, dalam kerangka hukum, pandemi termasuk dalam waktu kahar, waktu “luar biasa”, atau waktu bencana. Dalam situasi tersebut pula, kejahatan yang dilakukan akan diancam hukuman yang lebih berat dibandingkan ketika situasi normal.
Mengacu pada kasus korupsi yang dilakukan eks Menteri Sosial, Juliari Batubara terkait dana Bantuan Sosial atau Bansos. Tuntutan jaksa KPK kepadanya 11 tahun penjara dan denda Rp 500 juta. Padahal Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Firli Bahuri pernah menyebutkan perihal ancaman hukuman mati bagi para tersangka korupsi bansos saat pandemi.
Terkait kasus korupsi yang dilakukan Juliari Batubara yang menerima suap sebesar Rp 32 miliar dari para pengusaha atau vendor yang menggarap proyek pengadaan Bansos untuk penanganan Covid-19. Jauh sebelum kasus ini muncul, Firli memang mengatakan ada celah korupsi di pengadaan barang dan jasa, sumbangan dari pihak ketiga, realokasi anggaran, dan saat pendistribusian bantuan sosial.
Merujuk pada Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, hukuman mati sebenarnya tercantum di awal undang-undang. Di Pasal 2 tentang Tindak Pidana Korupsi, tercantum di ayat 2 bahwa: "Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan."
Dilansir dari kpk.go.id, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Nurul Ghufron menjelaskan, dalam UU Tipikor (Tindak Pidana Korupsi) No.31 Tahun 1999 jo UU No 20 Tahun 2001 terdapat 30 jenis tindak pidana dengan 7 klasifikasi besar, yaitu kerugian keuangan negara, suap-menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, konflik kepentingan dalam pengadaan barang dan jasa, gratifikasi serta tindak pidana lain yang berkaitan dengan korupsi.
Lebih lanjut, menurutnya hukum Tipikor dikriminalisasi karena ada dampak sosial, politik, ekonomi dan lain-lain. “Kalau kemudian di-cluster maka kepentingan hukum tipikor sesungguhnya melindungi 3 hal; melindungi hak keuangan publik, kedua melindungi hak sosial politik, serta ketiga melindungi hak keamanan dan keselamatan negara,” ujarnya.
Ada tiga rencana strategis dalam memberantas korupsi, kata Ghufron, pertama menindak supaya takut, mencegah supaya tidak berbuat, lalu memberi pendidikan supaya menyadari untuk tidak melakukan kejahatan korupsi. Namun, faktanya pasal 2 ayat 2 UU No. 31/199 jo. UU No. 20/2001 yaitu perbuatan memperkaya diri yang melawan hukum, mengakibatkan kerugian negara, namun dalam keadaan tertentu.
“Itu normanya, lalu pelaksanaannya bagaimana? Hingga 2021 ini, pidana mati belum pernah dijatuhkan dalam perkara korupsi yang diadili menggunakan UU No. 31/199 jo. UU No. 21/2001. Sejauh ini, pidana terberat yang pernah dijatuhkan dalam perkara korupsi ialah pidana seumur hidup dalam perkara korupsi AM (mantan Ketua Mahkamah Konstitusi) dan 6 orang dalam korupsi Jiwasraya (HR, HP, JHT, SY, BT, HH),” ujarnya.
Hal senada juga diucapkan Richard, menurutnya, masalah besar dalam sistem di Indonesia yaitu tidak tegasnya penegakan atas ancaman hukuman itu. Sejauh ini masyarakat hanya dihebohkan dengan wacana tersebut, nyatanya, berulang kali koruptor lepas dari jeratan hukuman yang berat.
“Pengalaman terjadinya kasus korupsi selama masa pandemi ini seharusnya menyadarkan semua penegak hukum untuk memaksimalkan penjatuhan hukuman bagi mereka. Saya kira tidak ada alasan lagi untuk berkilah,” ujarnya.
GERIN RIO PRANATA
Baca: KPK Sebut Tuntutan Hukuman Mati Bagi Koruptor Saat Bencana Dimungkinkan