23 Tahun Reformasi: Jalan Panjang Menuntaskan Kasus Korupsi Era Soeharto
Reporter
M Rosseno Aji
Editor
Aditya Budiman
Sabtu, 22 Mei 2021 07:36 WIB
Guardian menulis, pimpinan Alvis ketika itu, Nick Prest menjelaskan dalam dokumen bahwa untuk membeli peralatan militer harus dilakukan oleh anggota keluarga ABRI. Kemudian, untuk eksekusi pembeliannya, juga harus melibatkan perusahaan yang dimiliki angkatan bersenjata Indonesia. Untuk mencairkan 160 juta Poundsterling dari anggaran Indonesia, Alvis mesti memberikan komisi sebanyak 10 persen yaitu 16,5 juta Pundsterling. Guardian menyebut di pengadilan terungkap bahwa uang itu diberikan kepada Tutut melalui rekeningnya di luar negeri. "Madam Tutut," demikian eksekutif Alvis, Nick Prest memanggilnya.
Saat kasus ini mencuat, Komisi Pemberantasan Korupsi menyatakan akan menyelidikinya. Namun, Ketua KPK saat itu Taufiqurrahman Ruki menyatakan kesulitan menemukan data primer mengenai pembelian tank tersebut. DPR juga sempat mewacanakan untuk mengajukan pembentukan hak angket kala itu.
Adapun Tutut membantah dirinya memiliki peran dalam pembelian tank itu. "Tidak benar," kata dia didepan anggota Komisi Pertahanan DPR, Senin, 21 Maret 2005. Dari 13 pertanyaan tertulis yang disampaikan Dewan hampir seluruhnya dijawab tidak mengetahui atau tidak benar. Selain Tutut, DPR saat itu juga memanggil mantan KSAD Jenderal Purnawirawan Wismoyo dan Jenderal Purnawirawan Hartono. Ikut dipanggil Widhorini S Soekardono (pemilik PT Surya Kepanjen) yang berperan sebagai agen atau perwakilan PT Alvis Vehicle Limited (AVL).
"Saya tidak pernah ditunjuk sebagai perantara apa-apa dan tidak berperan apa-apa sampai sekarang," kata Tutut.
SEA Games XIX 1997
Kasus menyangkut penyelenggaraan SEA Games XIX Tahun 1997 melibatkan putra Presiden Soeharto, Bambang Trihatmodjo. Kasus ini disebut bukan kasus korupsi. Kasus utang-piutang ini bermula dari kekurangan dana untuk acara SEA Games pada September 1997 atau sebulan sebelum acara berlangsung pada 11-19 Oktober 1997. Jumlah kekurangan dana mencapai Rp 45 miliar.
Untuk menutupi kekurangan dana itu, pemerintah Soeharto memutuskan membantu konsorsium swasta yang ditunjuk menjadi mitra penyelenggara SEA Games. Konsorsium swasta itu diketuai oleh Bambang Tri. Mereka bertugas untuk menyediakan dana penyelenggaraan SEA Games. Dalam perjalanannya, Konsorsium mengalami kekurangan dana dan negara memberikan pinjaman. "Yang pada akhirnya menjadi utang konsorsium kepada negara dan dilimpahkan ke Kemenkeu,” kata Sekretaris Kementerian Sekretariat Negara Setya Utama pada 18 September 2020.
Sejumlah upaya kemudian dilakukan untuk menyelesaikan piutang negara ini. Salah satunya melalui serangkaian rapat-rapat koordinasi yang dihadiri oleh perwakilan dari Setneg, Sekretariat Jenderal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Kemenkeu, Sekretariat Presiden, dan Konsorsium SEA Games XIX. Sehingga dalam rapat tersebut, disepakati bahwa permasalahan penyelesaian piutang ini akan dilimpahkan kepada Kemenkeu. Terutama, terkait penyerahan pengurusan piutang negara dan teknis pelaksanaannya.
”Kini penanganan permasalahan penyelesaian piutang negara tersebut sedang berproses di Kementerian Keuangan sampai dengan piutang tersebut dinyatakan lunas/selesai sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku,” kata Setya dalam laman resmi Setneg.
Selama proses penyelesaian itu, Kemenkeu mencegah Bambang ke luar negeri. Pencegahan inilah yang kemudian mencuatkan kembali kasus ini ke permukaan pada 2020. Pencekalan atau pencegahan dilakukan dua kali, yang dimulai pada Desember 2019. Sementara pencegahan kedua dilakukan pada 27 Mei 2020.
Pencegahan kedua ditetapkan oleh Sri Mulyani lewat Keputusan Menkeu Nomor 108/KM.6/2020 pada 27 Mei 2020. Surat keputusan inilah yang kemudian digugat oleh Bambang ke PTUN Jakarta pada 15 September 2020. Dalam gugatannya, Bambang Tri meminta PTUN membatalkan keputusan itu. Bambang Tri juga meminta PTUN memerintahkan Sri Mulyani mencabut keputusannya.
Dalam proses gugatan ini, mantan komisioner KPK Busyro Muqoddas menjadi pengacara Bambang Tri. Beberapa hari setelah perkara masuk pengadilan, Busyro menyampaikan kasus yang menjerat kliennya bersifat administrasi. Dia menilai terjadi salah paham mengenai pembiayaan SEA Games XIX di era Orde Baru.
“Misunderstanding pembiayaan SEA Games di era Orde Baru dulu,” kata Busyro, Sabtu, 26 September 2020. Karena ini bukan kasus korupsi pula, Busyro bersedia menjadi pengacara Bambang Tri kala itu. Gugatan putra Soeharto itu pun ditolak PTUN. Kemenkeu menyatakan akan terus melakukan penagihan melalui mekanisme Panitia Urusan Piutang Negara.
Baca juga: 23 Tahun Reformasi: Pidato Lengkap Pengunduran Diri Soeharto Sebagai Presiden
ARSIP TEMPO | FAJAR PEBRIANTO