23 Tahun Reformasi: Jalan Panjang Menuntaskan Kasus Korupsi Era Soeharto
Reporter
M Rosseno Aji
Editor
Aditya Budiman
Sabtu, 22 Mei 2021 07:36 WIB
Bermodal putusan ini, Kejaksaan Agung mulai menyita duit dari yayasan. Pada akhir 2018, Kejaksaan melakukan penyitaan terhadap rekening yayasan yang berisi Rp 241,8 miliar. Kejaksaan juga menyita dua aset milik yayasan, yaitu Gedung Granadi dan Vila di Megamendung.
Mengenai penyitaan ini, kuasa hukum Keluarga Cendana, Erwin Kallo, angkat bicara. Ia mengatakan pemilik gedung itu bukan Keluarga Cendana saja. "Yang perlu diketahui Gedung Granadi itu bukan milik Yayasan Supersemar. Seharusnya dia (PN Jakarta Selatan) cari tahu gedung itu pemiliknya berapa orang dan siapa saja," ujar Erwin saat dihubungi, Senin, 19 November 2018.
Korupsi Bulog
Kasus korupsi PT Goro Batara Sakti (GBS) dan Badan Urusan Logistik (Bulog) melibatkan anak bungsu Soeharto, yait Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto. Kasus ini terkait dengan tukar guling tanah gudang beras milik Bulog di kawasan Kelapa Gading, Jakarta Utara, ke PT GBS.
Kasus bermula tahun 1994 dan melibatkan nama Beddu Amang yang saat itu menjabat sebagai Kepala Bulog, serta pebisnis Ricardo Gelael. Meski terjadi pada 1994, Tommy, Beddu dan Ricardo Galael ditetapkan menjadi terdakwa setelah Seoharto lengser yaitu pada 19 Februari 2019. Mereka diduga merugikan negara hingga Rp 95,6 miliar.
Bersama Ricardo, Tommy bebas dari segala dakwaan. Majelis Hakim PN Jakarta Selatan memvonis bebas dia dengan alasan tak menemukan bukti kuat. Atas keputusan Majelis Hakim PN Jaksel tersebut, Jaksa Penuntut Umum saat itu, Fachmi, mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung pada November 1999. Hampir setahun kemudian, pada 22 September 2000, Majelis Hakim Mahkamah Agung yang diketuai oleh Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita memvonis Tommy bersalah atas kasus korupsi PT GBS dan Bulog.
Dalam vonis tersebut, Tommy wajib membayar ganti rugi sebesar Rp 30 miliar, denda Rp 10 juta, dan hukuman kurungan 18 bulan penjara. Tak terima divonis bersalah, Tommy mengajukan grasi kepada Presiden Abdurrahman Wahid pada 31 Oktober 2000. Gus Dur menolak grasi itu dua hari kemudian melalui Keputusan Presiden Nomor 176/G/2000.
Penolakan grasi Tommy oleh Gus Dur sesungguhnya menandakan Tommy tak lagi bisa berkutik dari jerat hukum. Tapi Tommy belum mau menyerah. Sehari sesudah grasinya ditolak, 3 November 2000, Tommy kabur dengan memalsukan identitas. Polri resmi mengalungkan status tersangka kepada Tommy pada 10 November 2000.
Pada 26 Juli 2001, Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita tewas ditembak. Sekitar dua minggu kemudian, 7 Agustus 2001, polisi menangkap Mulawarman dan Noval Hadad dan menetapkan mereka sebagai tersangka. Keduanya mengaku membunuh Syaifuddin atas perintah Tommy Soeharto.
Setelah hampir dua bulan, 28 November 2001, polisi menangkap Tommy di Pondok Indah, Jakarta Selatan. Ia didakwa membunuh Syafiuddin. Majelis Hakim Pengadilan Jakarta Pusat memvonis Tommy 10 tahun penjara pada Juli 2002.
Tommy yang mestinya baru bebas pada 2010, bisa menghirup udara segar lebih awal, pada 1 November 2006, karena sejumlah pemotongan masa tahanan atasnya.
Pembelian Tank Scorpion
Harian The Guardian, Inggris, pada 9 Desember 2004, menerbitkan artikel mengenai dugaan pemberian komisi jutaan Poundsterling dalam pembelian tank Scorpion oleh Indonesia pada pertengahan 1990. Guardian menulis berita itu berdasarkan dokumen mengenai dugaan pemberian suap oleh perusahaan senjata Inggris, Alvis Vehicle Limited kepada putri tertua Soeharto, Siti Hardiyanti Rukmana atau Tutut.