23 Tahun Reformasi: Jalan Panjang Menuntaskan Kasus Korupsi Era Soeharto
Reporter
M Rosseno Aji
Editor
Aditya Budiman
Sabtu, 22 Mei 2021 07:36 WIB
Dua puluh tiga tahun sudah Soeharto lengser, namun upaya penegakan hukum terhadap Soeharto masih belum tuntas. Berikut ini adalah beberapa kasus korupsi yang diduga dilakukan oleh Soeharto dan menyeret nama Keluarga Cendana.
Korupsi 7 Yayasan
Beberapa bulan setelah lengser, Tim Kejaksaan Agung menemukan indikasi penyimpangan penggunaan dana tujuh yayasan yang dikelola oleh Soeharto pada 1998. Ketujuh yayasan itu adalah Yayasan Dana Sejahtera Mandiri, Yayasan Supersemar, Yayasan Dharma Bhakti Sosial, Yayasan Dana Abadi Karya Bhakti, Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila, Yayasan Dana Gotong Royong Kemanusiaan, dan Yayasan Trikora.
Lembaga tersebut mengelola dana dari negara, seperti Yayasan Supersemar. Melalui Keputusan Menteri Keuangan Nomor 333/KMK.011/1978, Soeharto memerintahkan 5 persen dari 50 persen laba bersih bank milik negara disetor ke yayasan tersebut untuk dana pendidikan. Namun, dana tersebut diduga diselewengkan untuk membiayai perusahaan-perusahaan yang masih terhubung dengan Soeharto. Hasil penelusuran Kejaksaan Agung menemukan bahwa kekayaan yayasan tersebut bernilai Rp 4,4 triliun.
Soeharto saat itu membantah tudingan tersebut. Muncul di televisi, Soeharto berkata, "Saya tidak punya uang satu sen pun di luar negeri." Pemerintah sempat menyatakan bahwa tuduhan korupsi Soeharto tidak terbukti, lalu menerbitkan Surat Penghentian Penyidikan pada Oktober 1999. Baru setelah Abdurrahman Wahid alias Gus Dur menjadi Presiden kasus ini kembali dibuka.
Kejaksaan resmi menetapkan Soeharto menjadi tersangka penyalahgunaan dana yayasan pada 31 Maret 2000. Pada 13 April 2000, Soeharto dinyatakan sebagai tahanan kota. Pada Agustus 2000, perkara ini masuk ke persidangan. Upaya menghadirkan Soeharto ke sidang selalu gagal dengan alasan sakit. Majelis Hakim akhirnya menetapkan penuntutan perkara pidana Soeharto tidak dapat diterima dan sidang dihentikan.
Gagal memidanakan Soeharto, Kejaksaan Agung mengajukan gugatan perdata ke pengadilan untuk mengambil duit negara yang ada di yayasan tersebut. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengabulkan gugatan itu pada 27 Maret 2008.
Pengadilan mewajibkan Soeharto membayar ganti rugi kepada negara sebanyak Rp 46 miliar. Karena Soeharto sudah wafat, tanggung jawab pembayaran dialihkan kepada keturunannya atau yang kerap dikenal sebagai Keluarga Cendana. Vonis itu diperkuat oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang mewajibkan keluarga Soeharto membayar Rp 185 miliar dengan kurs terbaru. Namun, putusan itu salah ketik dan hanya tertulis Rp 185 juta. Kesalahan ketik membuat putusan tak dapat dieksekusi.
Barulah pada Juli 2015, Mahkamah Agung mengabulkan Peninjauan Kembali yang diajukan Kejaksaan. Yayasan Supersemar diwajibkan mengganti duit negara sebanyak Rp 4,4 triliun.
Cerita belum berakhir dengan putusan tersebut. Yayasan Supersemar berupaya melawan dengan mengajukan perlawanan eksekusi ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 2016. PN Jakarta Selatan mengabulkan gugatan itu dengan menyatakan bahwa yayasan telah menyalurkan dana kepada yang berhak. Namun, MA menganulir keputusan tersebut pada Oktober 2018.