23 Tahun Reformasi: Kisah Golkar yang Digagas Soekarno Lalu Jadi Alat Orba

Jumat, 21 Mei 2021 15:15 WIB

Logo Partai Golkar

TEMPO.CO, Jakarta - Lengsernya Soeharto dari tampuk kekuasaan pada 1998 sempat disangka bakal menyapu Golkar—organisasi politik terbesar pendukung rezim Orde Baru—dari kancah perpolitikan. Golkar—yang kemudian bersalin nama menjadi Partai Golkar—dianggap turut menanggung dosa-dosa Orde Baru sehingga harus dihukum. Pada 2001, Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur bahkan mengeluarkan dekrit untuk membekukan partai berlambang pohon beringin ini.

Menurut catatan Tempo, hingga 2003, desakan untuk membubarkan Golkar masih santer terdengar lewat aksi-aksi mahasiswa. Namun Golkar justru meraih masa keemasan menjadi pemenang Pemilu 2004 dengan perolehan suara 21,58 persen. Padahal di Pemilu 1999, atau setahun setelah Soeharto mundur, suara Golkar anjlok dari 74,51 persen menjadi 22,44 persen, menempatkannya di bawah PDI Perjuangan yang baru didirikan oleh Megawati Soekarnoputri.

Perolehan suara Golkar di Pemilu 2004 mengungguli suara PDI Perjuangan sebesar 18,53 persen dan Partai Persatuan Pembangunan dengan 10,57 persen. “Golkar sadar mereka harus adaptasi cepat dengan situasi yang berubah. Kalau tidak, mereka akan lewat,” kata Kepala Departemen Politik dan Perubahan Sosial Center for Strategic and International Studies (CSIS), Arya Fernandes kepada Tempo, Kamis, 20 Mei 2021.

Arya mengatakan Golkar berhasil beradaptasi di bawah kepemimpinan Ketua Umum Akbar Tandjung. Akbar mendesain tranformasi kepartaian dengan membuat paradigma baru Partai Golkar. Alhasil, menurut Arya, Golkar sukses memutus koneksi dengan Orde Baru yang membesarkan namanya. “Pasca-Reformasi mereka sudah selesai dengan Orde Baru,” kata Arya.

Golkar sebenarnya lahir dari ide Presiden Soekarno. Sejarawan David Reeve dalam bukunya Golkar: Sejarah yang Hilang, Akar Pemikiran dan Dinamika (2013) mengatakan Golkar adalah gagasan Soekarno. Sekitar 1955, setelah beberapa kunjungannya ke luar negeri, Soekarno mengembangkan diskursus politik yang mengusulkan untuk ‘mengubur partai-partai’. Sukarno mengusulkan untuk menggantikan partai-partai tersebut dengan Golkar, atau yang pada saat itu dikenal sebagai ‘golongan fungsionil’.

Advertising
Advertising

Konsepnya ialah adanya perwakilan golongan-golongan dalam masyarakat, misalnya golongan petani—terlepas dari apa pun ideologi (nasionalis, agama, komunis) ataupun sukunya. Idenya, dalam pemilihan umum, rakyat akan memilih kandidat yang mewakili golongan mereka.

Masih menurut David Reeve, Angkatan Darat kemudian merebut gagasan ini dari Sukarno. Pada akhir 1959, Angkatan Darat lebih dulu membentuk berbagai organisasi Golkar, sedangkan Presiden Sukarno belum membentuk satu pun. Sejak 1960-1965, Angkatan Darat terus mengembangkan organisasi-organisasi jenis Golkar. Namun tujuannya lebih sebagai senjata melawan Partai Komunis Indonesia ketimbang sebagai bentuk perwakilan.

Pada 1964, berbagai organisasi kekaryaan disatukan ke dalam Sekber Golkar. Tiga tahun kemudian, Soeharto mengambil alih Sekber Golkar. Kepemimpinan lama disingkirkan dan diganti dengan orang-orang Orde Baru. Inilah saat Golkar di-Orde Baru-kan. Empat tahun berselang di Pemilu 1971, Golkar meraih kemenangan besar dengan perolehan suara 62,8 persen.

Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Firman Noor, mengatakan besarnya Golkar di era Orde Baru disokong sejumlah faktor. Mulai dari pendanaan, ketokohan, struktur, dukungan tentara, hingga pencitraan buruk kepada partai-partai lain. Ia mengatakan, dualisme kepemimpinan PDI oleh Soerjadi dan Megawati Soekarnoputri yang berujung pada peristiwa Kerusuhan 27 Juli 1996 adalah contoh jelas bagaimana Orde Baru ‘menyetir’ partai selain Golkar.

“Ada pelemahan partai, narasi pembangunan yang didengungkan, hingga dipakainya perangkat birokrat sampai ke level hansip untuk memenangkan Golkar,” kata Firman kepada Tempo, Kamis, 20 Mei 2021.

Firman mengatakan Golkar sebenarnya lahir sebagai gagasan ‘antipartai’. Namun kenyataannya Golkar menjadi sebuah partai. Bukan cuma itu, gagasan perwakilan golongan pun resmi menghilang setelah Munas IV pada Oktober 1988 memutuskan perubahan nama organisasi menjadi GOLKAR.

Selanjutnya: penyebab Golkar masih bisa bertahan sampai sekarang...
<!--more-->

Menurut sejarawan David Reeve, ini menandai hilangnya gagasan Soekarno pada 1957 bahwa organisasi akan mewakili golongan seperti petani, buruh, pengusaha nasional, pemuda, dan sebagainya. Sebaliknya, Golkar disebutnya menjadi partai pengusaha dan mesin patronase.

Keberadaan para pengusaha ini jugalah, menurut Firman Noor, yang membantu Golkar bangun dari keterpurukan setelah Pemilu 1999. Ia menilai, kebangkitan Golkar di Pemilu 2004 disokong faktor Jusuf Kalla yang memiliki kekuatan modal finansial. “Pak JK mampu mendekati daerah-daerah dengan memberikan gizi kembali kepada mereka,” ujarnya. JK lantas menggantikan Akbar Tanjung menjadi ketua umum Golkar pada Desember 2004.

Adapun menurut Arya Fernandes, Golkar sukses membenahi internal mereka menjadi partai terbuka dan demokratis. Tampuk kepemimpinan partai misalnya, kata dia, secara periodik berganti melalui forum musyawarah. Begitu juga proses pengambilan keputusan lewat forum yang melibatkan seluruh struktur partai di daerah. Arya berujar, kaderisasi serta kompetisi pun terjadi di internal Golkar, tetapi faksi-faksi yang ada relatif terakomodasi.

“Partai bernuansa Orde Baru lainnya tidak berhasil. Golkar bertahan karena dia tidak bergantung pada tokoh internal (patron),” kata Arya.

Kendati begitu, partai tak pelak terpengaruh saat elite-elitenya bergantian hengkang dan mendirikan partai baru. Wiranto misalnya, meninggalkan Golkar setelah Pemilu 2004 dan mendirikan Hanura pada 2006. Ada juga Surya Paloh yang membentuk NasDem dan Prabowo Subianto yang hengkang lalu membidani Gerindra.

Pada akhir 2014, partai juga didera konflik internal dengan dualisme kepemimpinan Aburizal Bakrie dan Agung Laksono. Islah baru terjadi bulan Mei 2016 dengan Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) Bali yang menetapkan Setya Novanto menjadi ketua umum. “Ini kapal tanker besar, banyak yang ingin jadi kaptennya. Ketika tidak tercapai, satu per satu keluar. Itu membawa dampak buruk bagi Golkar,” kata Firman Noor.

Setelah Pemilu 2004, perolehan kursi Golkar di parlemen memang terus menurun. Di Pemilu 2009, partai beringin mendapat 106 kursi Dewan Perwakilan Rakyat. Jumlah ini berkurang di Pemilu 2014 menjadi 91 kursi dan di Pemilu 2019 tinggal 85 kursi saja. Menurut Arya Fernandes, meski bertahan dengan menjadi partai terbuka, Golkar minim inovasi. Partai ini juga dinilainya tak cukup tanggap merespons perubahan demografi pemilih.

Arya menyebutkan, basis politik Golkar tidak banyak bergeser sejak Pemilu 1999 hingga 2019, yakni pemilih di luar Jawa, masyarakat rural, berusia di atas 40 tahun. “Demografi pemilih berubah, Golkar relatif agak telat beradaptasi dengan itu,” kata Arya.

BUDIARTI UTAMI PUTRI

Baca: Apakah Romantisme Gambar Soeharto 'Piye Kabare, Enak Jamanku Toh' akan Laku?

Berita terkait

PKS Buka Peluang Usung Ahmad Syaikhu di Pilkada Jakarta, Ini Alasannya

1 jam lalu

PKS Buka Peluang Usung Ahmad Syaikhu di Pilkada Jakarta, Ini Alasannya

Partai Golkar DKI menyatakan Ridwan Kamil akan maju di Pilkada Jawa Barat, bukan di Pilkada Jakarta.

Baca Selengkapnya

Sejarah Hari Ini, Kilas Balik Kematian Ibu Tien Soeharto 28 Tahun Lalu

3 jam lalu

Sejarah Hari Ini, Kilas Balik Kematian Ibu Tien Soeharto 28 Tahun Lalu

Walaupun telah meninggal, mendiang Ibu Tien Soeharto tetap dikenang dalam perjalanan sejarah bangsa.

Baca Selengkapnya

Golkar Klaim Tak Ada Penolakan untuk PKS Jika Ingin Gabung Kubu Prabowo

9 jam lalu

Golkar Klaim Tak Ada Penolakan untuk PKS Jika Ingin Gabung Kubu Prabowo

Golkar bilang KIM tidak pernah membahas penolakan terhadap PKS jika ingin bergabung dengan pemerintahan Prabowo.

Baca Selengkapnya

Gibran Hadiri Halalbihalal Golkar Solo

17 jam lalu

Gibran Hadiri Halalbihalal Golkar Solo

"Ya semuanya teman, halalbihalal yo ditekani kabeh (ya didatangi semua)," ujar Gibran.

Baca Selengkapnya

Ketua DPD Golkar Sumut Musa Rajekshah soal Kemungkinan Maju Cawagub: Kan Udah Pernah

1 hari lalu

Ketua DPD Golkar Sumut Musa Rajekshah soal Kemungkinan Maju Cawagub: Kan Udah Pernah

Ketua DPD Partai Golkar Sumatera Utara Musa Rajekshah mengomentari saat ditanya kemungkinan maju calon wakil gubernur

Baca Selengkapnya

Akhir Politik Jokowi di PDIP

1 hari lalu

Akhir Politik Jokowi di PDIP

Kiprah politik Joko Widodo atau Jokowi di PDI Perjuangan sudah tamat. Mantan Wali Kota Solo itu butuh dukungan partai politik baru.

Baca Selengkapnya

MK Gelar Sidang Sengketa Pileg Mulai Pekan Depan, KPU Siapkan Ini

2 hari lalu

MK Gelar Sidang Sengketa Pileg Mulai Pekan Depan, KPU Siapkan Ini

Terdapat 16 partai politik yang mendaftarkan diri dalam sengketa Pileg 2024.

Baca Selengkapnya

Setelah Berkoalisi di Pilpres, PKS Siap Bekerja Sama dengan PKB di Pilkada 2024

2 hari lalu

Setelah Berkoalisi di Pilpres, PKS Siap Bekerja Sama dengan PKB di Pilkada 2024

PKS dan Golkar semakin intens membangun koalisi di Pilkada 2024 Kota Depok.

Baca Selengkapnya

Golkar Paling Intens Berkomunikasi dengan PKS untuk Pilkada Depok

2 hari lalu

Golkar Paling Intens Berkomunikasi dengan PKS untuk Pilkada Depok

Imam mengatakan PKS sangat terbuka dan mengajak partai-partai di Depok, baik yang ada di parlemen maupun nonparlemen, guna memenangkan Pilkada 2024.

Baca Selengkapnya

Usai Tak Lagi Dianggap Kader PDIP, Gibran Bilang Belum Bergabung Kemana-Mana

2 hari lalu

Usai Tak Lagi Dianggap Kader PDIP, Gibran Bilang Belum Bergabung Kemana-Mana

"Kami berteman dengan semua, semua partai kami anggap rumah ya," ujar Gibran.

Baca Selengkapnya