Kena OTT KPK, Ini Sosok Gubernur Sulsel Nurdin Abdullah
Reporter
Budiarti Utami Putri
Editor
Aditya Budiman
Sabtu, 27 Februari 2021 09:12 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Gubernur Sulawesi Selatan Nurdin Abdullah pada Jumat malam, 26 Februari 2021. Pelaksana tugas juru bicara KPK Ali Fikri mengatakan tangkap tangan itu terkait dugaan korupsi.
"Benar, Jumat tengah malam, KPK melakukan tangkap tangan terhadap kepala daerah di Sulawesi Selatan terkait dugaan tindak pidana korupsi," kata Ali dalam keterangannya, Sabtu, 27 Februari 2021.
Meski begitu Ali belum menjelaskan lebih detail kasus yang menjerat Nurdin. Ia mengatakan tim KPK masih bekerja dan akan menginformasikan perkembangan lebih lanjut.
"Informasi lebih lengkap kasusnya, siapa saja yang ditangkap dan barang bukti apa yang diamankan, saat ini belum bisa kami sampaikan," ucap Ali.
Nurdin Abdullah terpilih menjadi Gubernur Sulawesi Selatan lewat Pemilihan Kepala Daerah 2018. Ia maju berpasangan dengan Andi Sudirman Sulaiman, adik mantan Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman. Pasangan Nurdin-Andi Sudirman diusung oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Keadilan Sejahtera, dan Partai Amanat Nasional.
Nurdin Abdullah lahir di Parepare, Sulawesi Selatan, pada 7 Februari 1963. Ia menamatkan studi S1 di Fakultas Pertanian dan Kehutanan Universitas Hasanuddin, Makassar. Nurdin kemudian menempuh studi S2 Master of Agriculture di Universitas Kyushu, Jepang, dan menyelesaikan S3 di kampus yang sama.
Sebelum terjun ke politik, Nurdin bergelut sebagai akademisi. Ia juga dikukuhkan menjadi Guru Besar Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin. Nurdin kemudian menjadi Bupati Bantaeng selama dua periode, yakni 2008-2013 dan 2013-2018, sebelum akhirnya menjabat Gubernur Sulawesi Selatan.
Laporan Majalah Tempo edisi 19 September 2020 menyatakan Nurdin diduga terafiliasi dengan dua perusahaan pemilik konsesi penambangan pasir yang beroperasi di Blok Spermonde, sisi barat perairan Sulawesi Selatan yang berada di kawasan Kabupaten Takalar. Dua perusahaan itu yakni PT Banteng Laut Indonesia dan PT Nugraha Indonesia Timur.
<!--more-->
Proses perizinan kedua perusahaan itu berlangsung kilat, pengurusan analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) selesai dalam waktu kurang dari dua bulan. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sulawesi Selatan menduga hal ini diduga akibat ada orang-orang dekat Nurdin yang menikmati penambangan tersebut.
Pemilik PT Banteng Laut Indonesia diduga terkait dengan "Prof Andalan"--akronim dari Profesor Nurdin Abdullah dan Andi Sudirman Sulaiman. Setengah saham PT Banteng Laut dimiliki oleh Akbar Nugraha dan Abil Iksan, masing-masing menjabat sebagai direktur utama dan direktur.
Akbar dan Abil adalah mantan anggota tim "Prof Andalan". Akbar juga teman satu kampus putra Nurdin. Akhir 2019, Nurdin Abdullah mengangkat Akbar sebagai Ketua Badan Promosi Pariwisata Daerah Sulsel.
Abil dan Akbar juga menguasai setengah saham PT Nugraha Indonesia Timur dengan nilai Rp 125 juta. Akbar tak menjawab permintaan wawancara. Adapun saat Tempo mendatangi rumah Abil di Makassar pada 19 September 2020, seorang perempuan yang mengaku istrinya mengatakan Abil tak berada di rumah.
Seorang sumber yang mengetahui proses perizinan mengatakan dua perusahaan itu memang mendapat karpet merah. Menurut sumber ini, Nurdin Abdullah sempat menekan bawahannya untuk menekan perizinan PT Banteng Laut dan PT Nugraha. Hal ini dibantah Kepala Dinas Pengelolaan Lingkungan Hidup Provinsi Sulsel Andi Hasbullah.
Baca laporan Majalah Tempo: Jalur Kilat Tim Andalan
Operasional penambangan pasir PT Banteng Laut dan PT Nugraha berdampak terhadap kehidupan nelayan tradisional, khususnya yang bermukim di Pulau Kodingareng Lompo. Setelah penambangan berjalan, air laut mengeruh. Pengambilan pasir juga dituding merusak habitat ikan.
Para nelayan dan keluarga rutin mendemo kapal penyedot pasir di lokasi tambang sejak Juni 2020. Puncaknya, mereka berunjuk rasa di lokasi tambang pada Sabtu, 12 September 2020. Tujuh nelayan dan empat aktivis ditangkap polisi karena dituduh merusak kapal pengeruk pasir, kendati mereka bebas keesokan harinya. Namun sejak unjuk rasa itu, polisi bersenjatakan laras panjang disebut kerap berpatroli menjaga aktivitas kapal pengeruk pasir.
Nurdin Abdullah mengatakan keterlibatan mantan anggota tim suksesnya bukanlah pelanggaran hukum. Ia juga mempertanyakan relevansi kedekatan para pemilik saham perusahaan itu dengan anak kandungnya.
Nurdin pun membantah mengistimewakan perizinan PT Banteng Laut Indonesia dan PT Nugraha Indonesia Timur. "Kami berkomitmen mempermudah proses administrasi. Selama itu sesuai dengan aturan dan perundang-undangan, semua kami percepat," kata Nurdin, dikutip dari Majalah Tempo edisi 19 September 2020.
BUDIARTI UTAMI PUTRI | MAJALAH TEMPO | ANTARA