Pengamat Ragukan Efektifitas Bhabinkamtibmas dan Satpol PP Dilibatkan Tracing
Reporter
Egi Adyatama
Editor
Eko Ari Wibowo
Kamis, 4 Februari 2021 10:06 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Co-Founder Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi mempertanyakan pelibatan Babinsa, Bhabinkamtimnas, dan Satpol PP dalam upaya penelusuran (tracing) kasus Covid-19. Ia meminta pemerintah memperjelas definisi lapangan dari tugas ini.
"Sebab, ada kekhawatiran pelibatan TNI-Polri lewat Babinsa maupun Babinkamtibmas justru bermakna lain di masyarakat," kata Khairul dalam keterangan tertulis, Kamis, 4 Februari 2021.
Khairul mengatakan pelibatan Babinsa, Babinkamtibmas, maupun Satpol PP dalam gerakan masyarakat, sebenarnya sudah sempat terjadi. Di Jawa Tengah contohnya, Kodam Diponegoro pernah bekerja sama dengan Dinas Kesehatan Jawa Tengah untuk mendorong pelaksanaan program pemantauan jentik nyamuk.
Dari situasi tersebut, Khairul menyebut pemerintah seolah mengambil jalan cepat untuk mengontrol rakyat dalam upaya penelusuran kasus Covid-19. "Pemerintah lebih memilih pendekatan dengan efek psikologis kepada masyarakat agar segera patuh dengan pemerintah dan mau diperiksa," kata dia.
Baca: Tak Pakai Masker di Pasar Baru Bekasi, 65 Orang Terjaring Razia Satgas Covid-19
Meski begitu, ia mempertanyakan kapasitas dan peran Babinsa dan Babinkamtibmas dalam kegiatan tersebut. Pasalnya, Babinsa/Babinkamtibmas tidak memiliki kompetensi dalam upaya tracing karena kemampuan tracing dimiliki tenaga medis.
"Kalau pun mereka bertugas sebagai pendamping, perlu ada protokol jelas saat pengamanan tenaga kesehatan maupun tindakan lanjutan seperti membawa kandidat yang diperiksa dengan hasil reaktif Covid-19," kata Khairul.
Ia tak menafikan peran TNI termasuk Polri dan Satpol PP dalam pandemi selama ini yang sangat besar. Namun dalam konteks upaya contact tracing di lapangan, ia melihat sebenarnya hal serupa sudah pernah dilakukan sebelumnya. Namun hingga saat ini, evaluasi kegiatan itu tak pernah terdengar ke publik. "Saya khawatir, ekspektasi kita terlalu tinggi terhadap pelibatan itu dan mengabaikan adanya kemungkinan pelibatan itu tidak berjalan efektif di lapangan," kata Khairul.