Pengamat: Polemik Sultan HB X dengan Adiknya Berbahaya bagi Keraton Yogya
Reporter
Pribadi Wicaksono (Kontributor)
Editor
Eko Ari Wibowo
Minggu, 24 Januari 2021 19:00 WIB
TEMPO.CO, Yogyakarta - Pengajar Fisipol Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Bayu Dardias Kurnia khawatir polemik internal Keraton Yogya yang mencuat dengan kasus pemecatan dua adik Sri Sultan Hamengku Buwono X (Sultan HB X) berkepanjangan. Dua adik tiri Sultan HB X yakni Gusti Bendara Pangeran Hario (GBPH) Prabukusumo dan GBPH Yudhaningrat marah dan kecewa ketika dicopot dari jabatan struktural Keraton Yogyakarta. Mereka merasa disingkirkan dari keraton.
Keduanya menilai pemecatan itu buntut dari ketidaksetujuan mereka atas Sabda Raja HB X pada 2015 silam. Yang salah satu poinnya memuat isu suksesi serta membuka peluang kalangan perempuan menjadi raja.
Bayu mengingatkan sejarah suksesi di Keraton Yogyakarta, selama ini selalu melibatkan pihak ketiga. Dalam arti, penunjukkan raja yang terjadi sejak masa HB I, selalu atas persetujuan dari pemerintah atau penguasa saat itu khususnya pemerintah Belanda.
"Keraton tidak punya tradisi menentukan sendiri rajanya. Semua atas persetujuan Belanda, sebagai pihak ketiga," ujarnya Sabtu 23 Januari 2021.
Baca: Dipecat dari Keraton, Yudhaningrat: untuk Muluskan Suksesi Putri Sultan HB X
Bayu menilai sebenarnya tak masalah intervensi penguasa dalam suksesi internal Keraton itu. Jika demi kepentingan lebih luas. Yakni menjaga simbol kebudayaan dan identitas masyarakat Jawa yang tersisa itu tetap utuh.
Ia pun membandingkan dengan konflik tajam yang sempat melanda Keraton Surakarta yang ujung-ujungnya melibatkan pemerintah dan aparat keamanan juga. Ketika internal keraton main sekat akses dan polisi tentara sampai ikut turun dalam pengamanan.
"Keraton Yogya saat ini menjadi satu satunya identitas bagi masyarakat Jawa setelah kemerdekaan," ujarnya.
Jika Keraton Yogya sebagai identitas Jawa yang tersisa itu ikut bermasalah dan sampai pecah gara gara suksesi yang tak mulus, Bayu khawatir muncul konflik panjang. "Dan hancurnya identitas itu artinya sudah menjadi masalah bangsa," ujarnya.
Sejak Sabda Raja muncul tahun 2015 silam dan sejumlah putra putri HB IX menentang HB X, kata Bayu, sebagian besar tugas departemen Keraton memang sudah perlahan diambilalih dan dikerjakan putri-putri Sultan HB X.
Khususnya di dua jabatan struktural yang awalnya diampu Prabukusumo dan Yudhaningrat yakni sebagai Penggedhe Kawedanan Hageng Punakawan (KHP) Parwa Budaya dan KHP Nitya Budaya.
Baru per 2 Desember 2020, Sultan menegaskan secara resmi melalui surat bahwa putri sulung dan bungsunya GKR Mangkubumi dan GKR Bendara tak menjadi wakil pamannya di dua departenen Keraton itu. Tapi menjadi kepala dari Parwa Budaya dan Nitya Budaya.
"Jadi GKR Mangkubumi dan Bendara yang awalnya jadi wakilnya Prabukusumo dan Yudhaningrat itu sebenarnya tiga empat tahun ini secara de facto sudah mengerjakan tugas-tugas pamannya," ujarnya.
Tak hanya tugas tugas dalam Keraton yang diambil alih putri HB X pasca Sabda Raja. Bayu juga melihat dalam prosesi ritual Kraton di luar istana seperti Grebeg atau Maulud pasca Sabda Raja Sultan HB X, peran-peran simbolik para adik tiri Sultan HB X juga kian tenggelam. Misalnya saat ritual pembagian udik-udik atau uang logam yang disebarkan ke masyarakat saat upacara adat Keraton. Prosesi udik-udik tahun 2016-2017 itu bukan lagi dilakukan adik Sultan seperti Yudhaningrat ke masyarakat tapi digantikan oleh putri Sultan HB X.
PRIBADI WICAKSONO