Hukuman Kebiri Kimia Dianggap Berbiaya Mahal

Senin, 4 Januari 2021 13:57 WIB

Ilustrasi kekerasan seksual. Doc. Marisa Kuhlewein (QUT) and Rachel Octaviani (UPH)

TEMPO.CO, Jakarta - Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menilai Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2020 yang mengatur tentang kebiri kimia bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak sebagai aturan populis. Di sisi lain, ICJR menilai beleid ini bukti pemerintah tak memprioritaskan korban.

"Sejak awal ICJR menilai hukuman kebiri kimia adalah aturan yang bersifat populis. Sampai saat ini komitmen pemerintah untuk penanganan korban masih minim dan cenderung mundur," kata Direktur Eksekutif ICJR Erasmus Napitupulu dalam keterangan tertulis, Senin, 4 Januari 2021.

Erasmus mengatakan kelompok masyarakat sipil telah menyampaikan kritik sejak aturan kebiri kimia ini tercetus pada 2016. ICJR bersama KPI, Ecpat, dan Mappi FH UI mengingatkan tentang praktik di negara lain bahwa perlu banyak sumber daya dan anggaran mahal untuk menyiapkan dan membentuk sistem perawatan kebiri kimia yang tepat.

Sampai saat ini, kata dia, pemerintah dan kementerian terkait tak pernah memberikan penjelasan ihwal gambaran pendanaan yang harus disediakan untuk menerapkan sistem yang mahal ini. Di samping itu, Erasmus mengatakan sistem kebiri kimia ini pun tak sesuai dengan pendekatan kesehatan.

"Dari proyeksi yang bisa dilakukan, anggaran yang dikeluarkan tidak akan sedikit. Karena selain pelaksanaan kebiri kimia, akan ada anggaran untuk rehabilitasi psikiatrik, rehabilitasi sosial, dan rehabilitasi medik bagi terpidana kebiri kimia," ujar dia.

Advertising
Advertising

Dalam PP Nomor 70 Tahun 2020, tertulis bahwa sumber anggaran pelaksanaan tindakan kebiri kimia, pemasangan alat pendeteksi elektronik, rehabilitasi, dan pengumuman identitas pelaku kekerasan seksual terhadap anak berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), dan sumber lain yang sah dan tidak mengikat sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Erasmus mengatakan fakta mahalnya anggaran kebiri kimia ini diperparah dengan minimnya anggaran yang disediakan negara untuk perlindungan dan pemulihan korban tindak pidana, termasuk korban kekerasan seksual. Contoh sederhananya, kata Erasmus, anggaran lembaga yang menangani korban seperti Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) justru terus dipangkas.

Erasmus menjelaskan, berdasarkan data LPSK, jumlah layanan yang dibutuhkan korban dan diberikan LPSK terus meningkat setiap tahunnya. Pada 2015 misalnya, ada 148 layanan korban yang diberikan lembaga tersebut. Angkanya meningkat menjadi 9.308 layanan pada 2019.

Namun, anggaran yang diberikan kepada LPSK sejak 2015 hingga 2020 malah terus mengalami penurunan cukup signifikan. Anggaran LPSK pada 2015 sebanyak Rp 148 miliar, sedangkan pada 2020 anggaran layanan LPSK hanya Rp 54,5 miliar.

Berita terkait

LPSK akan Turun ke Konawe Selatan Investigasi Kasus Guru Honorer Supriyani

2 hari lalu

LPSK akan Turun ke Konawe Selatan Investigasi Kasus Guru Honorer Supriyani

Komisioner LPSK, Susilaningtias mengatakan, tim LPSK akan turun langsung menginvestigasi kasus guru honorer Supriyani di Konawe Selatan

Baca Selengkapnya

Kasus Guru Honorer Supriyani, LPSK Terima Permohonan Perlindungan Dua Saksi

2 hari lalu

Kasus Guru Honorer Supriyani, LPSK Terima Permohonan Perlindungan Dua Saksi

Guru honorer Supriyani menjadi terdakwa dalam kasus dugaan kekerasan terhadap anak didik di Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara.

Baca Selengkapnya

LPSK Masih Menelaah Permohonan Perlindungan Rudy Soik yang Berseteru dengan Polda NTT

7 hari lalu

LPSK Masih Menelaah Permohonan Perlindungan Rudy Soik yang Berseteru dengan Polda NTT

Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) masih menelaah permohonan perlindungan Inspektur Dua (Ipda) Rudy Soik.

Baca Selengkapnya

Viral Pengamen Ondel-Ondel Cabuli Anak 10 Tahun, Polsek Kemayoran: Sudah Ditangkap

11 hari lalu

Viral Pengamen Ondel-Ondel Cabuli Anak 10 Tahun, Polsek Kemayoran: Sudah Ditangkap

Polisi menangkap pengamen itu setelah mengetahui video viral pelaku yang diduga sudah 3 kali melakukan kekerasan seksual terhadap anak tersebut.

Baca Selengkapnya

Dugaan Pelecehan Seksual di UPH, Komnas Perempuan Sebut Satgas Wajib Edukasi Korban

11 hari lalu

Dugaan Pelecehan Seksual di UPH, Komnas Perempuan Sebut Satgas Wajib Edukasi Korban

Komnas Perempuan mengatakan, dugaan pelecehan seksual oleh dosen kepada mahasiswanya ini harus dibawa ke ranah hukum untuk jadi pembelajaran.

Baca Selengkapnya

LPSK Sebut Rudy Soik Pernah Minta Perlindungan Saat Membongkar Kasus TPPO pada 2014

11 hari lalu

LPSK Sebut Rudy Soik Pernah Minta Perlindungan Saat Membongkar Kasus TPPO pada 2014

LPSK mengatakan sebelum sidang etik dalam membongkar mafia BBM, Rudy Soik pernah meminta perlindungan saat Membongkar Kasus TPPO pada 2014.

Baca Selengkapnya

Harvey Weinstein Didiagnosis Kanker Sumsum Tulang, Jeratan Hukum Masih Berlanjut

11 hari lalu

Harvey Weinstein Didiagnosis Kanker Sumsum Tulang, Jeratan Hukum Masih Berlanjut

Harvey Weinstein didiagnosis leukimia di tengah proses hukum yang masih membelitnya.

Baca Selengkapnya

Rudy Soik Minta Perlindungan LPSK, Kuasa Hukum: Anaknya Sampai Berhenti Sekolah

12 hari lalu

Rudy Soik Minta Perlindungan LPSK, Kuasa Hukum: Anaknya Sampai Berhenti Sekolah

Kuasa hukum Rudy Soik menyatakan keluarga kliennya mengalami trauma akibat teror dan intimidasi .

Baca Selengkapnya

Ipda Rudy Soik Minta Perlindungan LPSK Setelah Dipecat dari Kepolisian

12 hari lalu

Ipda Rudy Soik Minta Perlindungan LPSK Setelah Dipecat dari Kepolisian

Kuasa hukum Ipda Rudy Soik, Ferdy Maktaen menyatakan kliennya akan meminta perlindungan ke LPSK karena merasa terancam.

Baca Selengkapnya

UPH Konfirmasi Adanya Kasus Pelecehan Seksual yang Dilakukan Salah Satu Dosen Musik, Ini Kronologinya

14 hari lalu

UPH Konfirmasi Adanya Kasus Pelecehan Seksual yang Dilakukan Salah Satu Dosen Musik, Ini Kronologinya

UPH mengatakan telah menerapkan sanksi administratif berat kepada MS pada 16 Oktober 2024 lalu. Kini MS sudah tidak lagi menjadi dosen di UPH.

Baca Selengkapnya