Ketua Ombudsman Bicara Soal Penyadapan Saat Uji Calon Anggota KY
Reporter
Antara
Editor
Aditya Budiman
Rabu, 2 Desember 2020 11:15 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Ombudsman RI periode 2016-2021 Amzulian Rifai membicarakan soal penyadapan hakim saat diuji kepatutan dan kelayakan (fit and proper test) menjadi calon anggota Komisi Yudisial (KY) di Komisi III DPR RI.
Menurut Guru Besar Universitas Sriwijaya (Unsri) itu, jika pendekatan lunak gagal, Komisi Yudisial bisa saja melaksanakan kewenangan penyadapan yang dijamin oleh Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Komisi Yudisial.
"Karena undang-undang memberikan ruang untuk itu, bisa bekerja sama dengan lembaga lain. Termasuk, misalnya melakukan penyadapan," kata Amzulian di Jakarta, Selasa kemarin.
Pasal 20 ayat 3 UU Komisi Yudisial memang menyebutkan : Dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, sebagaimana dimaksud pada Pasal 20 ayat 1 huruf a yang menyebutkan Komisi Yudisial dapat meminta bantuan kepada aparat penegak hukum untuk melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan dalam hal adanya dugaan pelanggaran Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim oleh Hakim.
Pada pasal 20 ayat 4 pun menegaskan bahwa : Aparat penegak hukum wajib menindaklanjuti permintaan Komisi Yudisial sebagaimana dimaksud pada pasal 20 ayat 3.
Kendati demikian, Amzulian memilih untuk lebih mengedepankan pendekatan lunak seperti dengan penyampaian teguran kepada hakim melalui keluarga mereka agar meningkatkan kinerja para hakim serta menjaga kehormatan dan perilaku hakim.
"Kalau misalnya anggota keluarga paham betul berapa gaji seorang hakim. Kalau dia (hakim) tiba-tiba beli rumah misalnya Rp 5 miliar, ya diingatkan. Saya pikir keluarga berperan penting di dalam hal ini," kata Amzulian.
<!--more-->
Ketua Ombudsman RI itu menilai peringatan dari anggota keluarga akan sangat berpengaruh bagi kualitas pribadi masing-masing hakim karena pada dasarnya para hakim dipilih dari orang-orang yang berkualitas baik.
"Tidak sembarang orang bisa menjadi hakim," kata Amzulian menegaskan.
Namun, Amzulian juga berpikir untuk membuat aplikasi pengaduan kode etik hakim, di mana masyarakat tinggal klik pada layar ponsel ketika menemukan ada perilaku sehari-hari para hakim yang tidak sesuai dengan 10 kode etik.
"Memang tidak bisa menghukum (hakim) pada saat itu, tapi paling tidak ketika dicek silang (cross check) ada data yang benar pelapor itu. Ini menjadi basis data bagi KY di dalam suatu saat misalnya, kalau diperlukan," kata Amzulian.
Ia juga menginginkan adanya tradisi menerbitkan eksaminasi putusan para hakim untuk kalangan praktisi hukum. Tradisi mengeksaminasi putusan itu dinilai dapat bermanfaat bagi institusi pendidikan hukum di Indonesia dan para pelajar ilmu hukum.
Amzulian menyatakan eksaminasi putusan bukan hanya untuk kepentingan KY, tapi juga meningkatkan kemampuan mahasiswa-mahasiswa Ilmu Hukum di Indonesia. "Saya yakin di Komisi III DPR RI ini banyak yang berpengalaman di bidang praktik hukum. Bagaimana ketika merekrut sarjana hukum baru ya? Mereka (pelajar) tidak terbiasa membaca putusan-putusan hakim," kata Amzulian.
Untuk eksaminasi putusan tersebut, KY bisa mendekati para advokat yang tergabung dalam induk organisasi advokat seperti Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) dan lain-lain.
"Mereka (praktisi-praktisi hukum) ingin sekali ini diketahui publik, mereka ingin sekali ini dieksaminasi. Saya yakin para advokat di bidang tersebut, dugaan saya, pasti punya pengalaman seperti itu," kata Amzulian.