Jejak Aksi Gejayan Memanggil dari Era Presiden Soeharto hingga Jokowi
Reporter
Budiarti Utami Putri
Editor
Eko Ari Wibowo
Kamis, 8 Oktober 2020 11:30 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Aksi Gejayan Memanggil kembali bergelora hari ini, Kamis, 8 Oktober 2020. Kali ini, aksi yang digelar oleh kelompok yang menamakan diri Aliansi Rakyat Bergerak tersebut menyuarakan penolakan terhadap Undang-undang atau UU Cipta Kerja (Omnibus Law) yang disahkan pada Senin, 5 Oktober lalu.
"Eskalasi aksi meningkat dari Gejayan Memanggil menjadi Jogja Memanggil," kata salah satu peserta aksi, Ardy Syihab kepada Tempo, Rabu malam, 7 Oktober 2020.
Ardy mengatakan aksi hari ini akan berlangsung di depan kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan kantor Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta di Jalan Malioboro. Ini berbeda dari sebelum-sebelumnya manakala aksi digelar di Jalan Gejayan.
Ardy mengatakan eskalasi dan tensi aksi hari ini akan lebih tinggi ketimbang aksi-aksi Gejayan Memanggil sebelumnya. Menurut dia, mereka menuntut agar UU Cipta Kerja dibatalkan.
"Kami buat mosi tidak percaya di kantor gubernur yang merupakan simbol kuasa di provinsi," kata dia.
Gerakan Gejayan Memanggil merentang sejak era Presiden Soeharto. Pada 8 Mei 1998, Jalan Gejayan menjadi tempat demonstrasi mahasiswa yang menuntut segera dilakukan reformasi, yang berakhir bentrok dengan aparat.
Bentrokan itu berbuntut panjang dengan meninggalnya Moses Gatutkaca, mahasiswa Universitas Sanata Dharma akibat pukulan benda tumpul di kepala.
Jalan Gejayan kembali menjadi lokasi aksi menolak revisi sejumlah undang-undang bermasalah pada September tahun lalu. Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga, Farhan Mustofa ketika itu mengatakan, Jalan Gejayan dipilih lantaran latar historisnya yang kuat sebagai basis aksi pergerakan mahasiswa menumbangkan Soeharto dan Orde Baru.
Gejayan, ujar Mustofa, adalah titik strategis karena seolah menjadi sumbu sentra yang menghubungkan sejumlah kampus di Yogya. Seperti UGM, UNY, Sanata Dharma, Atma Jaya dan UIN Sunan Kalijaga.
“Bagaimanapun Gejayan jadi pusatnya mahasiswa saat gerakan 1998 silam. Lokasi ini akhirnya menjadi tempat yang disepakati untuk momentum membangkitkan semangat gerakan mahasiswa itu,” ujar Mustofa pada 24 September 2019.
Mustofa menuturkan, sejarah Gejayan juga tak bisa dilepaskan dari sosok almarhum aktivis Moses Gatotkaca. Moses saat itu ditemukan tergeletak dengan luka penuh bekas pukulan dan meninggal saat dibawa ke Rumah Sakit Panti Rapih. Aksi di Gejayan pun dikenal dengan nama Tragedi Gejayan 1998.
“Tentang sosok almarhum Moses, pengaruhnya sangat dirasakan besar pada gerakan mahasiswa hari ini. Bagaimanapun sosok Moses mengingatkan mahasiswa sebagai agent of control, sosok bisa dikatakan seperti pemantik alasan mengapa mahasiswa perlu terus bergerak,” ujar Mustafa.
BUDIARTI UTAMI PUTRI | PRIBADI WICAKSONO