Ini Skandal Red Notice Djoko Tjandra yang Berujung 2 Jenderal Jadi Tersangka
Reporter
Tempo.co
Editor
Syailendra Persada
Sabtu, 15 Agustus 2020 07:02 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Badan Reserse Kriminal Polri menetapkan Djoko Tjandra dan pengusaha Tommy Sumardi menjadi tersangka pemberi suap kepada jenderal polisi. Suap diduga diberikan terkait penerbitan surat jalan dan penghapusan red notice untuk Djoko.
"Untuk pemberi ini kami menetapkan saudara JST dan kedua adalah saudara TS," kata Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Argo Yuwono, di kantornya, Jakarta, Jumat, 14 Agustus 2020.
Argo mengatakan kepolisian menjerat kedua orang itu dengan Pasal 5 ayat 1 dan pasal 13 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 KUHP. Ancaman hukuman terhadap pemberi maksimal 5 tahun penjara.
Sementara, sebagai tersangka penerima kepolisian menetapkan mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri Inspektur Jenderal Napoleon Bonaparte dan mantan Kepala Koordinasi dan Pengawasan PPNS Bareskrim Brigadir Jenderal atau Brigjen Prasetijo Utomo.
Keduanya ditengarai menerima hadiah atau janji terkait penghapusan red notice dan surat jalan untuk Djoko Tjandra. Mereka dijerat dengan Pasal 5 ayat 2, pasal 11 dan 12 huruf a dan b UU Tipikor juncto Pasal 55 KUHP.
Skandal soal red notice ini bermula ketika terpidana perkara hak tagih Bank Bali tersebut keluar-masuk Indonesia tanpa tercatat di perlintasan Imigrasi. Kejaksaan Agung dan Kepolisian RI saling menyalahkan. Diduga ada peran Sekretariat National Central Bureau (NCB) Interpol dalam pencabutan red notice.
<!--more-->
Penelusuran Tempo menemukan, Sekretariat NCB Interpol Divisi Hubungan Internasional Polri sebenarnya berkirim surat kepada Kejaksaan Agung pada pertengahan April lalu.
Dalam suratnya, NCB Interpol menanyakan apakah Kejaksaan masih perlu memasukkan Joko Tjandra ke daftar red notice atau permintaan kepada Interpol di dunia untuk menangkap atau menahan seorang pelaku tindakan kriminal.
Kejaksaan membalas surat itu pada 21 April lalu dan meminta agar Joko tetap dimasukkan ke daftar red notice. Namun, Sekretariat NCB Interpol menerangkan bahwa Joko Tjandra tak masuk lagi daftar itu ketika menyurati Direktorat Jenderal Imigrasi pada 5 Mei. Alasannya, seperti yang disampaikan polisi saat bertemu dengan Mahfud, Kejaksaan tak mengajukan perpanjangan sejak 2014.
Atas dasar surat dari NCB Interpol itulah, menurut Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly, Imigrasi menghapus nama Djoko dari daftar “orang terlarang” di perlintasan Imigrasi. “Berarti otomatis hilang di kami. Kami kan cuma penerima, kami supporting,” ujar Yasonna seperti dikutip dari Majalah Tempo, edisi 13-19 Juli 2020.
Jaksa Agung Sanitiar (ST) Burhanuddin memastikan Kejaksaan tidak pernah mencabut red notice Djoko. Sampai saat ini, ia masih menelusuri siapa yang mencabut red notice tersebut.
Burhanuddin memastikan tidak akan mengajukan permohonan pencabutan red notice ke Interpol melalui Polri sampai seorang buron ditangkap.
"Red notice itu kan tidak ada cabut mencabut, selamanya sampai ketangkap, tapi nyatanya begitulah," ujar Burhanuddin di kantornya, Jakarta Selatan, pada Rabu, 15 Juli 2020.
Penghapusan red notice ini menyeret nama Brigadir Jenderal Nugroho Slamet Wibowo. Selaku Sekretaris National Central Bureau Interpol Indonesia, Ia menyurati pihak Imigrasi pada 5 Mei 2020 mengenai telah terhapusnya red notice Djoko Tjandra dari basis data Interpol.
Atas surat itu, Imigrasi kemudian menghapus nama Djoko dari sistem perlintasan. Hal ini diduga membuat Djoko bisa masuk ke Indonesia tanpa terdeteksi.
Belakangan, Kepala Polri Jenderal Idham Azis mencopot Nugroho dari jabatannya. Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri, Irjen Napoleon Bonaparte juga ikut dicopot karena dianggap tak mengawasi bawahannya.