Anggota Dewan Pengarah Badan Pemenangan Nasional Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, Fadli Zon berfoto bersama pendukung seusai Salat Jumat di Masjid Al Azhar, Jakarta Selatan, Jumat, 19 April 2019. Tempo/Irsyan Hasyim
TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon mengkritik langkah Komisi II DPR yang mulai membahas revisi UU Pemilu atau RUU Pemilu.
Menurut Fadli, seharusnya UU Pemilu tidak direvisi saban kali pemilu hendak digelar. Dia berpendapat UU Pemilu harusnya berlaku jangka panjang, minimal 10-15 tahun.
“Bukan untuk kepentingan jangka pendek partai politik semata,” ujar Fadli dalam diskusi virtual 'Menyoal RUU Pemilu dan Prospek Demokrasi Indonesia' hari ini, Selasa, 9 Juni 2020.
Dengan gonta-ganti aturan pemilu yang dilakukan para legislatif ini, ujar Fadli, semakin menunjukkan bahwa demokrasi di negara ini masih jauh dari substansi.
“Demokrasi saat ini bukan hanya prosedural, tapi mungkin juga corrupted democracy yang membuat demokrasi semakin mahal dan menjadi battle of billionaire. Demokrasi kita dikendalikan, disponsori para cukong,” ujar Fadli.
Akibatnya, Fadli Zon berpendapat, terjadi sebuah oligarki. Mereka yang punya kepentingan di Indonesia cukup menguasai sembilan parpol yang berkuasa di parlemen saja.
Dia menyatakan revisi aturan pemilu semestinya meletakkan kembali dasar-dasar demokrasi dan menjadikan aturan benar-benar berpihak kepada rakyat serta sistem yang dibuat mewakili kepentingan rakyat.
“Kalau sistem sekarang kan bukan daulat rakyat, tapi daulat partai politik,” ujar dia.
Ketua Badan Kerja Sama Antar-Parlemen (BKSAP) DPR RI, Fadli Zon, memimpin pertemuan bilateral yang penting dengan Delegasi Parlemen Myanmar dalam Pengasingan di Sidang Parlemen Dunia (IPU) di Jenewa, Swiss.