"Hukuman Permohonan Maaf di Media Tidak Memiliki Dasar Hukum"
Kamis, 11 September 2008 17:43 WIB
TEMPO Interaktif, Jakarta: Koordinator Aliansi Pembela Pasal 28 Agus Sudibyo mengatakan vonis Pengadilan Negeri Jakarta Selatan kepada Majalah Tempo atas gugatan pencemaran nama baik PT Asian Agri Group dengan kewajiban menyampaikan permohonan maaf di media massa tidak ada dasar hukum.
"Hukuman meminta maaf melalui media tidak ada dasarnya, baik di Undang-Undang Pers maupun KUH Perdata," kata Agus di Kantor Imparsial, Kamis (11/9).
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menghukum Majalah Tempo menyampaikan permohonan maaf secara tertulis pada tiga media besar selama tiga kali berturut-turut. UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak secara eksplisit mengatur ini. "Tidak lazim," ujarnya."Tidak rasional dengan kemampuan media saat ini."
Agus menuturkan hal itu akan mengganggu eksistensi media dan akan membebani bisnis perusahaan. Dia memaparkan Tempo harus menyiapkan uang Rp 15 miliar untuk meminta maaf di 15 media massa selama tujuh hari berturut-turut. "Ini artinya pembungkaman pers secara langsung," katanya.
Apalagi, kata dia, Majelis tidak mempertimbangkan media massa itu menerbitkan berita untuk kepentingan publik. "Bukan untuk kepentingan media itu," katanya.
Koordinator Divisi Advokasi Aliansi Jurnalistik Independen Eko Maryadi mengatakan permohonan maaf di media massa itu telah mengabaikan peran pers sebagai kontrol. "Itu menyalahi kontrol pers," katanya.
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan telah menafikan pasal 6 huruf d UU Pers bahwa pers nasional memiliki peran pengawasan, kritik, koreksi dan saran terhadap hal yang berkaitan kepentingan umum.
Permintaan maaf itu, lanjut Eko, jika media massa itu melakukan pencurian, perampokan dan kabar bohong. "Tapi publikasi laporan korporasi yang curang tidak bisa diatur," katanya."Tidak perlu meminta maaf."
Eko juga mengkritik pertimbangan majelis hakim yang melarang Majalah Tempo memuat laporan atas kasus itu selama masih dalam proses hukum. "Seharusnya pengadilan tidak mengatur pers. Itu upaya penyensoran," katanya.
AJI, kata dia, dalam waktu dekat akan mengkampanyekan pers harus berani melawan mafia hitam. Dia mencontohkan koruptor, pelaku pembalakan liar, dan pengusaha yang merugikan negara.
Wakil Ketua Pokja Pengaduan Dewan Pers Bekti Nugroho mengatakan kasus Tempo akan menjadi preseden buruk bagi kebebasan pers. "Tekanan terhadap pers tidak pernah surut, meski formatnya berbeda," katanya. Pers mengalami kekalahan di pengadilan sejak tahun 1997 hingga 2008. Namun, dia berharap pers tetap kritis.
Bekti menyesalkan peran Dewan Pers tidak dimaksimalkan. "Memang saat mediasi dengan Dewan Pers terjadi deadlock, tapi bisa terus diupayakan,"katanya.
Kuasa Hukum Tempo, Muhammad Halim, mengatakan dalam waktu dekat akan segera menyerahkan nota banding. "Kami akan segera ajukan nota banding," katanya.
Selain itu, pihak kuasa hukum Tempo juga akan mendesak Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial memeriksa majelis hakim yang menyidangkan perkara itu. "Putusan majelis mengandung banyak kejanggalan,"katanya. "Dan hari ini, kami akan mendatangi Komisi Yudisial."
Eko Ari Wibowo