Warga melintas di depan spanduk penutupan jalan masuk Desa Bogem, Kalasan, Sleman, DI Yogyakarta, Senin, 30 Maret 2020. Sejumlah desa atau perkampungan di Kota dan Kabupaten di DI Yogyakarta memberlakukan akses satu pintu masuk dengan menutup sejumlah jalan untuk mengurangi aktivitas warga sebagai upaya mencegah penularan COVID-19. ANTARA/Hendra Nurdiyansyah
TEMPO.CO, Yogyakarta - Koordinator Tim Respons COVID-19 UGM Riris Andono Ahmad menyebut lockdown di perkampungan akan menambah masalah sebab banyak warga justru berkumpul di satu titik jalan masuk.
Menurut dia apa yang terjadi menyalahi prinsip social distancing atau menjaga jarak antarorang.
Penutupan kampung atau wilayah berpotensi memunculkan konflik sosial karena bisa terjadi salah paham antarwarga.
“Membuat posko lockdown dan kumpul-kumpul untuk menjaga posko itu tidak perlu, berisiko karena akhirnya orang berkumpul,” kata dia dalam telekonferensi pers pada Senin petang, 30 Maret 2020.
Masyarakat, dia menjelaskan, terlalu mudah menggunakan kata lockdown sehingga menimbulkan kebingungan. Lockdown yang dilakukan sendiri oleh masyarakat dengan mendirikan posko dan dijaga sejumlah orang malah lokasi berkumpul.
Adapun Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X menyatakan yang dilakukan masyarakat tersebut bukan lockdown tetapi untuk mengontrol pendatang dan mengurangi aktivitas di luar rumah.
"Misalnya, ada tiga jalan yang dua jalan ditutup agar memudahkan mengontrol keluar masuk."
70 Persen Mahasiswa UGM Keberatan dengan Besaran UKT, Ada yang Cari Pinjaman hingga Jual Barang Berharga
4 hari lalu
70 Persen Mahasiswa UGM Keberatan dengan Besaran UKT, Ada yang Cari Pinjaman hingga Jual Barang Berharga
Peringatan Hari Pendidikan Nasional atau Hardiknas di Yogyakarta turut diwarnai aksi kalangan mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) di Balairung UGM Kamis 2 Mei 2024.