Ribuan Massa di Surabaya Gelar Aksi Tolak Omnibus Law
Reporter
Nurhadi (Kontributor)
Editor
Amirullah
Rabu, 11 Maret 2020 14:58 WIB
TEMPO.CO, Surabaya - Ribuan massa dari elemen buruh, mahasiswa, dan aktivis masyarakat sipil di Jawa Timur yang tergabung dalam Gerakan Tolak Omnibus Law (Getol) menggelar aksi di Bundaran Waru, Surabaya, Rabu, 11 Maret 2020. Mereka mendesak pemerintah dan DPR mencabut Rancangan Undang-Udang Cipta Kerja.
Dari pantauan Tempo, massa dari berbagai daerah itu mulai memadati Bundaran Waru sekitar pukul 13.00. Mereka datang berkelompok dengan menggunakan minibus dan sepeda motor. Di sana mereka menggelar mimbar bebas menyuarakan penolakan terhadap rancangan undang-undang sapu jagat tersebut.
Ketua Serikat Pekerja Kimia-Energi dan Pertambangan-Konferensi Serikat Pekerja Indonesia (SPKEP-KSPI), Sunandar, mengatakan Bundaran Waru dipilih sebagai tempat aksi karena strategis untuk bisa menyampaikan kepada masyarakat umum bahwa aturan omnibus law yang digagas pemerintah harus ditolak.
“Kami bersama Getol dan elemen masyarakat serentak melakukan aksi agar pemerintahan Jokowi dan DPR RI betul-betul mempertimbangkan pasal-pasal di omnibus law,” kata Sunandar kepada awak media. Dia menyebutkan setidaknya ada sejumlah poin di aturan omnibus law yang merugikan dan mengkerdilkan hak-hak buruh.
Berdasarkan kajian yang dilakukan Getol, RUU Cipta Kerja di antaranya menghilangkan status pekerja tetap. Akibatnya, upah minimum pekerja akan hilang dikarenakan sistem fleksibilitas tenaga kerja serta sistem pengupahan berbasis jam kerja yang cenderung eksploitatif. Jaminan sosial juga berpotensi hilang akibat adanya fleksibilitas kerja.
RUU yang sebelumnya bernama Cipta Lapangan Kerja itu juga dianggap merugikan pekerja perempuan. Hak perempuan terutama untuk cuti haid, waktu istirahat untuk ibadah, dan cuti melahirkan dihilangkan, sehingga meskipun ada larangan pemutusan hubungan kerja terkait hal tersebut namun banyak peluang yang bisa digunakan pengusaha untuk melakukan pemotongan upah.
Di samping menindas buruh, RUU ini dinilai berpotensi mengancam ekologi lingkungan. Sebab, seluruh kewenangan di dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup menjadi kewenangan pemerintah pusat sehingga menimbulkan pembatasan akses masyarakat terhadap informasi, partisipasi, dan keadilan dalam pengambilan keputusan.