Amnesty Paparkan 9 PR Isu HAM Pemerintahan Jokowi 2019-2024
Reporter
Halida Bunga
Editor
Syailendra Persada
Kamis, 17 Oktober 2019 18:43 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Amnesty International Indonesia mencatat ada sembilan isu di sekitor HAM yang menjadi pekerjaan rumah Pemerintahan Joko Widodo atau Jokowi dan DPR periode 2019-2024.
Peneliti Amnesty International Indonesia Papang Hidayat menjelaskan, pertama adalah hak atas kebebasan berekspresi dan melindungi pembela HAM. "Kami khawatir semakin terbatasnya ruang sipil yang menyempit bagi kebebasan berekspresi, seperti ekspresi politik, religius, dan estetis yang dilakukan semata-mata dengan cara damai," kata Papang dalam diskusi bertajuk Habis Gelap Terbitlah Kelam di Jakarta, Kamis 17 Oktober 2019.
Kedua, mengenai kebebasan beragama, berpikir dan berkepercayaan. Amnesty mencatat adanya pelanggaran dan diskriminasi kelompok minoritas, maupun serangan fisik dan penutupan tempat ibadah. Papang menjelaskan, hingga saat ini pemerintah hanya memberikan sedikit perlindungan.
"Negara gagal memberi rasa aman bagi mereka untuk hidup. Pemerintahan Jokowi dianggap harusnya mempertahankan jargon toleransi. Ini ke depan masih agak suram," katanya.
Ketiga, mengenai akuntabilitas pelanggaran HAM oleh aparat keamanan. Papang menjelaskan Amnesty tak henti-hentinya menerima laporan pembunuhan, penyiksaan, perlakukan kejam yang tidak manusiawi dan merendahkan martabat dalam proses penangkapan, interogasi maupun penahanan selama proses hukum.
"Tidak ada mekanisme yang independen, efektif dan tidak memihak untuk menangani pengaduan masyarakat tebtang perilaku buruk polisi dan militer. Hal ini membuat banyak korban tidak memiliki akses ke keadilan dan pemuluhan hak," ujarnya.
Keempat mengenai pertanggungjawaban pelanggaran HAM berat masa lalu yang terdiri dari pembunuhan di luar hukum, penghilangan paksa, penyiksaan dan kejahatan seksual. Khususnya di era 1966 hingga 1998 dan 2002, belum tertangani dengan serius.
"Presiden di awal pemerintahan 2014 membuat janji kampanye meningkatkan penghormatan HAM termasuk mengatasi semua pelanggaran. Hal ini belum terealisasi," ujarnya.
<!--more-->
Kelima mengenai hak-hak perempuan dan anak perempuan. Hal ini terkait banyaknya kasus kekerasan seksual, perkosaan, dan hukuman yang melanggar hukum internasional. Papang menilai, pemerintah masih gagal mengambil langkah efektif untuk memberikan keadilan, kebenaran dan reparasi bagi perempuan dan anak perempuan yang menjadi korban.
Keenam terkait penghormatan HAM Papua. Papang menyebut kini situasinya makin memburuk. Dia menyebut masih banyak laporan pembunuhan, dan penggunaan kekuatan dan senjata secara berlebih oleh polisi dan militer. "Pemerintah gagal membedakan kelompok bersenjata yang menggunakan kekerasan dengan aktivis yang damai," ujarnya.
Ketujuh terkait akuntabilitas pelanggaran HAM di sektor bisnis kelapa sawit. "Seharusnya di cek bahwa sawit bukan lahir dari eksploitasi di perkebunan sawit. Eksploitasi ada yang terdeteksi kerja paksa. Padahal konvensi sudah diratifikasi tapi belum jadi tindak pidana," katanya.
Kedelapan, Papang menjelaskan agenda di sektor hukuman mati. Dia bercerita adanya dugaan maladministrasi yang ditemukan Ombudsman pada salah satu terpidana mati kasus narkotika yang gagal tak dapat kesempatan mengajukan grasi.
Meski tak ada eksekusi yang dilakukan pemerintah sejak 2016, namun pengadilan Indonesia masih terus menjatuhkan hukuman mati untuk kasus narkoba, pembunuhan dan terorisme. "Penggunaan hukuman mati untuk narkoba adalah masalah khusus. Karena kejahatan itu tidak memenuhi standar kejahatan paling serius," ujarnya.
Terakhir, Papang menjelaskan pentingnya menyoroti isu intimidasi dan diskriminasi terhadap LGBTI. Sebelum tahun 2016, LGBTI di Indonesia telah mengalami diskriminasi dan stigma sosial, termasuk pemenuhan hak sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya.
Sementara, pemerintah justru berinisiatif untuk meminggirkan LGBTI dengan penafsiran nilai keagamaan dan melabeli mereka sebagai pendosa atau menderita sakit jiwa. "Pernyataan konyol itu diimplementasikan di level bawah oleh aparat otoritas setempat maupun masyarakat untuk melakukan persekusi, kekerasan dan intimidasi terhadap LGBTI," katanya.