Amandemen UUD, PKB dan PAN Tolak Masa Jabatan Presiden Ditambah
Reporter
Fikri Arigi
Editor
Jobpie Sugiharto
Rabu, 9 Oktober 2019 09:01 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Wacana amandemen Undang-undang Dasar 1945 kembali terdengar setelah pelantikan anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) periode 2019-2024 pada 1 Oktober 2019
Muncul usulan merevisi batas masa jabatan presiden yang saat ini maksimal dua kali masa jabatan (10 tahun). Usulan ini pertama dikumandangkan oleh Partai NasDem. Tapi, beberapa fraksi lain justru menolak amandemen yang dinilai hanya kepentingan segelintir elit politik.
"Konsistensi pembangunan juga terikat dengan eksekutifnya. Masa jabatan presiden juga berhubungan, nanti perlu didiskusikan semuanya," kata Ketua Fraksi NasDem Johnny G. Plate di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, pada Senin lalu, 7 Oktober 2019, seperti telah dimuat di Tempo.co.
Dia menjelaslkan ada aspirasi dari masyarakat soal penambahan masa jabatan presiden. Sebagian masyarakat ingin masa jabatan presiden bervariasi, seperti 1x8 tahun, 3x4 tahun, atau 3x5 tahun.
Johnny tak menjelaskan masyarakat mana yang dia maksud.
Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Amanat Nasional (PAN) menolak wacana dari NasDem tadi.
Wakil Ketua MPR dari PKB Jazilul Fawaid mengatakan amandemen UUD harus terbatas. Dia menolak perubahan masa jabatan presiden menjadi lebih dari dua periode.
"Tak sampai ke situ perubahannya, dua periode itu cukup untuk presiden dan eksekutif," kata Jazilul di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, kemarin, Selasa, 8 Oktober 2019.
Anggota MPR dari Fraksi PAN, Yandri Susanto, mengingatkan bahwa pembahasan amandemen konstitusi harus tetap berada di koridor yang telah direkomendasikan MPR periode 2014-2019, yakni mengembalikan Garis-garis Besar Haluan Negara atau GBHN.
"Yang sudah disepakati mari kita bahas, yang tidak menjadi pembahasan, ya, tidak disentuh," katanya.
Adapun Partai Golkar menolak GHBN diadakan lagi. Politikus Golkar Ace Hasan Syadzily menilai GBHN tak relevan dengan sistem presidensialisme yang dianut saat ini.
Ia menganggap keinginan mengamandemen UUD 1945 sebagai langkah mundur maka harus dipertimbangkan secara matang. Amandemen UUD seoertiu membuka kotak pandora yang akan memunculkan usulan baru dan perdebatan-perdebatan yang sebetulnya sudah selesai.
Ahli Hukum Tata Negara Bivitri Susanti mengatakan rencana amandemen UUD 1945 tidak berasal dari masyarakat melainkan elitr politik. “Publik belum pernah ngomongin amandemen," ucapnya Selasa lalu.