Diisi Mayoritas Koalisi, DPR Diprediksi Tak Selalu Dukung Jokowi
Reporter
Budiarti Utami Putri
Editor
Amirullah
Sabtu, 5 Oktober 2019 09:10 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Dewan Perwakilan Rakyat diisi oleh mayoritas partai koalisi pengusung Joko Widodo atau Jokowi - Ma'ruf Amin. Meski begitu, sejumlah pengamat menilai hal ini belum tentu akan memuluskan setiap agenda pemerintah yang memerlukan persetujuan parlemen.
Pengamat politik dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Adi Prayitno mengatakan potensi muncul oposisi dari dalam koalisi pemerintah cukup terbuka. Apalagi jika dalam kondisi tertentu Jokowi lebih mendengarkan aspirasi publik ketimbang partai politik.
"Untuk isu-isu tertentu cukup potensial memang terjadi dalam tanda kutip perang saudara," kata Adi kepada Tempo, Sabtu, 5 Oktober 2019.
Salah satu contohnya terkait pertimbangan Presiden Jokowi untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (Perpu KPK). Partai utama pengusung Jokowi, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, justru menjadi yang paling lantang menolak rencana tersebut.
Selain itu, kata Adi, koalisi Jokowi juga terbilang rentan. Hal ini ditandai dengan naik-turunnya hubungan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri dan Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh. Panas dingin relasi mereka terjadi lantaran PDIP cenderung membuka pintu untuk Gerindra, sedangkan Nasdem tampak keberatan partai besutan Prabowo Subianto itu bergabung ke koalisi Jokowi.
"Kalau dilihat tanda-tandanya, bulan madunya cukup potensial akan segera berakhir. Ke depan tidak bisa diprediksi akan sesolid apa partai-partai pendukung ini," kata Adi.
Peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Arya Fernandez menyampaikan hal senada. Arya menilai sikap politik DPR akan cenderung cair meski diisi mayoritas koalisi Jokowi.
"Cair, karena tingkat loyalitas koalisi lemah. Yang kedua, karena kemampuan mengelola koalisi ini lemah," kata Arya dihubungi terpisah.
<!--more-->
Arya mencontohkan apa yang terjadi di parlemen periode 2014-2019. Meski sejak 2,5 tahun terakhir ketua DPR dijabat politikus Partai Golkar yang telah merapat ke pemerintah, kerja sama kedua pihak menyangkut legislasi tidaklah mulus. Menurut catatan CSIS, per Juli lalu, hanya ada enam undang-undang dari dari 52 rancangan undang-undang yang diusulkan pemerintahan Jokowi.
Enam UU hasil usulan pemerintah yang disahkan, kata Arya, ialah UU Tindak Pidana Terorisme (Prolegnas 2010), UU Paten (Prolegnas 2010), UU Merek dan Indikasi Geografis (Prolegnas 2010), UU Pengampunan Pajak (Prolegnas 2015), UU Kepalangmerahan (Prolegnas 2015), dan UU Kekarantinaan Kesehatan (Prolegnas 2015).
"Ini menunjukkan tak selamanya koalisi yang besar menjamin DPR meloloskan RUU pemerintah," kata dia. Di periode pertama, Jokowi didukung koalisi PDIP, Golkar, Nasdem, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Hanura, dan Partai Amanat Nasional.
Dari sini, Arya memprediksi rencana Presiden Jokowi memindahkan ibu kota negara dari Jakarta ke Kalimantan Timur belum tentu mulus. Apalagi, partai-partai koalisi sudah tak memiliki semangat seperti di periode pertama pemerintahan mantan Gubernur DKI Jakarta itu.
Politikus Partai Gerindra Desmond J Mahesa juga memprediksi hal senada. Berada di luar pemerintahan sejak 2014, Desmond tak khawatir dengan komposisi parlemen mendatang yang didominasi pendukung Jokowi. Dia juga yakin akan prediksinya meski Ketua DPR Puan Maharani dan Jokowi berasal dari partai yang sama.
"Kemesraan itu tidak selamanya kemesraan. Kemesraan itu bisa ada perbedaan," kata Desmond di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu, 2 Oktober 2019.
Desmon mengatakan angin politik akan selalu berubah. Menurut dia, koalisi Jokowi saat ini masih akur lantaran belum terbentuk kabinet baru. Wakil Ketua Umum Partai Gerindra ini pun menduga soliditas koalisi Jokowi bisa buyar jika partai-partai tak puas dengan pembagian menteri.
Hal serupa, kata dia, pernah terjadi di era pemerintahan kedua Susilo Bambang Yudhoyono.
"Kalau sudah selesai Pak Jokowi membagi menteri-menteri, apakah mereka puas atau tidak. Kalau tidak puas, ada pengalaman SBY, setahun pertama sudah gonjang ganjing republik ini," kata Desmond.