Gejayan Memanggil dan Memori Moses Gatotkaca
Reporter
Pribadi Wicaksono (Kontributor)
Editor
Juli Hantoro
Selasa, 24 September 2019 05:55 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Suara Farhan Mustofa lantang menembus ribuan mahasiswa dalam aksi Gejayan Memanggil di simpang Colombo, Gejayan, Yogyakarta, Senin 23 September 2019.
Mahasiswa angkatan 2017 Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogya itu membuat mahasiswa lainnya terdiam saat ia berorasi.
“Siapa yang kita bela?” ujar Mustofa pada aksi yang diikuti ribuan mahasiswa berbagai kampus itu. “Rakyat!” jawab peserta aksi serentak.
“Siapa musuh kita?” tanya Mustofa kembali dan langsung dijawab massa aksi, “DPR!”
Aksi besar itu diikuti mahasiswa dari sekitar 17 kampus baik Yogya dan Jawa Tengah.
Unjuk rasa ini buntut keresahan mahasiswa atas rententan kebijakan di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi dan DPR RI saat ini yang dianggap mencederai hati nurani rakyat. Terutama terkait UU KPK, KUHP, perampasan tanah oleh negara hingga Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual ( RUU PKS).
Mustofa, yang juga salah satu koordinator aksi itu menuturkan sebenarnya aksi ini diinisiasi dari pemikiran sejumlah pers mahasiswa berbagai kampus di Yogya sejak Kamis 19 September 2019 lalu.
“Kamis (19/9) itu kami mulai komunikasi, Jumat bertemu, Sabtu siapkan massa, Minggu kami survei lapangan, dan Senin ini kami turun ke jalan,” ujar Mustofa.
Mahasiswa jurusan Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta itu menuturkan awalnya hanya ada mahasiswa 15 kampus yang akan ikut terlibat namun di hari aksi, perwakilan mahasiswa dari dua kampus menyatakan bergabung.
Untuk menggerakkan mahasiswa lain terlibat pun dilakukan hanya melalui perangkat elektronik dan media sosial. Lalu masing-masing koordinator kampus memberikan data-data berapa banyak dan siapa saja mahasiswa yang akan turun.
Dari UIN Sunan Kalijaga, ujar Mustofa, hampir ada seribuan mahasiswa dari delapan fakultas yang turun dalam aksi itu. Estimasi ini karena setiap fakultas menurunkan sekitar 100 lebih mahasiswanya.
Mustofa menuturkan aksi itu sebenarnya juga sebagai jawaban sejumlah pihak yang menuding mahasiswa sekarang cenderung apatis pada situasi sosial politik yang berkembang. Terutama pasca tumbangnya orde baru.
“Kami sebenarnya hanya beberapa kali bertemu konsolidasi saja. Karena hampir semua mahasiswa sudah satu frame sepakat bahwa pemerintah dan DPR sekarang sedang nggak bener, jadi lebih mudah menggerakannya,” ujarnya.
Mustofa menuturkan, dalam persiapan aksi itu Gejayan dipilih sebagai titik kumpul karena latar historisnya yang kuat. Sebagai basis aksi pergerakan mahasiswa dalam menumbangkan Soeharto dan Orde Baru nya tahun 1998 silam.
Gejayan, ujar Mustofa, titik strategis karena seolah menjadi sumbu sentra yang menghubungkan sejumlah kampus di Yogya. Seperti UGM, UNY, Sanata Dharma, Atma Jaya dan UIN Sunan Kalijaga.
Oleh sebab itu, dalam aksi itu, gerakannya dimulai dari sumbu- sumbu penghubung ke Gejayan. Seperti aksi awal di simpang UIN Sunan Kalijaga dan bunderan UGM yang diikuti long march menuju simpang Colombo Gejayan.
“Bagaimanapun Gejayan jadi pusatnya mahasiswa saat gerakan 1998 silam. Lokasi ini akhirnya menjadi tempat yang disepakati untuk momentum membangkitkan semangat gerakan mahasiswa itu,” ujarnya.
Mustofa menuturkan, sejarah Gejayan juga tak bisa dilepaskan dari sosok almarhum aktivis Moses Gatotkaca, mahasiswa Sanata Dharma Yogyakarta yang tewas dalam aksi demonstrasi di Gejayan menuntut Presiden Soeharto turun pada 8 Mei 2019 silam.
Moses saat itu ditemukan tergeletak dengan luka penuh bekas pukulan dan meninggal saat dibawa ke Rumah Sakit Panti Rapih. Aksi di Gejayan pun dikenal dengan nama Tragedi Gejayan 1998.
“Tentang sosok almarhum Moses, pengaruhnya sangat dirasakan besar pada gerakan mahasiswa hari ini. Bagaimanapun sosok Moses mengingatkan mahasiswa sebagai agent of control, sosok bisa dikatakan seperti pemantik alasan mengapa mahasiswa perlu terus bergerak,” ujarnya.