Pasal Aborsi di RKUHP Dianggap Abai terhadap Korban Perkosaan
Reporter
Budiarti Utami Putri
Editor
Endri Kurniawati
Kamis, 19 September 2019 12:54 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) dianggap abai dan diskriminatif terhadap perempuan korban perkosaan. Dalam RKUHP, disebutkan bahwa setiap perempuan yang menggugurkan kandungan atau meminta orang lain menggugurkan atau mematikan kandungan dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun.
Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Genevova Alicia menilai aturan ini lebih mundur ketimbang Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang memberikan pilihan bagi korban perkosaan untuk aborsi. "Jika tidak diatur minimal sama dengan UU Kesehatan, sebaiknya aturan aborsi dihapuskan sebagai perwujudan komitmen pemerintah melindungi korban perkosaan," kata Genevova dalam keterangan tertulis yang dikutip hari ini, Kamis 19 September 2019.
Dalam penjelasannya, disebutkan bahwa ketentuan pasal aborsi ini dimaksudkan untuk melindungi kandungan seorang perempuan. Ketentuan pidana hanya tak berlaku apabila yang digugurkan adalah kandungan yang sudah mati.
Tidaklah relevan menentukan cara dan sarana apa yang digunakan untuk menggugurkan atau mematikan kandungan perempuan itu. “Yang penting dan yang menentukan adalah akibat yang ditimbulkan, yaitu gugur atau matinya kandungan itu."
Pasal aborsi dalam RKUHP ini juga diskriminatif lantaran membedakan perlakuan antara dokter dan korban. Dokter yang menggugurkan kandungan karena indikasi kedaruratan medis atau terhadap korban perkosaan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan tidak akan dipidana. Namun, tak ada ketentuan serupa yang berlaku untuk perempuan yang mengalami kedaruratan medis atau korban perkosaan.
Genoveva mengatakan pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat seharusnya membuka ruang diskusi untuk membahas perihal ini.
Dia juga mendesak agar UU Kesehatan direvisi demi lebih memperhatikan perempuan korban. Sebab, kendati sudah memberikan pilihan bagi korban perkosaan untuk aborsi, UU tersebut mengatur batas waktu diperbolehkannya pengguguran. Batas yang disyaratkan adalah sebelum kehamilan berumur 6 pekan dihitung dari hari pertama haid terakhir, kecuali dalam kedaruratan medis.
Menurut Genoveva, ketentuan aborsi bagi korban perkosaan seharusnya tak mengenal batas waktu. Penelitian Lentera Sintas Indonesia pada 2016 mencatat bahwa 93 persen korban tidak melaporkan perkosaan yang dialaminya, apalagi kehamilan akibat perkosaan itu. Korban memerlukan waktu lama untuk melampaui trauma yang dialaminya.
Korban perkosaan harus memiliki hak untuk memperoleh layanan kesehatan yang diperlukan, termasuk pelayanan untuk aborsi yang aman berdasarkan alasan kesehatan dan psikologis. “Secara ilmiah hal ini bisa dilaksanakan," kata dia.
RKUHP telah rampung dan dibahas oleh pemerintah dan DPR. Kedua pihak telah sepakat membawa RKUHP ke rapat paripurna pada 24 September nanti untuk disahkan.