TEMPO.CO, Jakarta - Kasus hukum yang membelit WA, remaja perempuan asal Jambi, menuai banyak respons banyak kalangan. Tak hanya menjadi korban perkosaan oleh kakak kandungnya hingga hamil, perempuan 15 tahun itu juga harus menerima hukuman.
Baca: Korban Perkosaan Dihukum, Hakim PN Muara Bulian Dilaporkan ke KY
Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Maidina Rahmawati menilai ada beberapa pelanggaran yang terjadi dalam kasus WA. "Banyak pelanggaran serius dalam proses pemeriksaan perkara ini," ujar Maidina di Bakoel Koffie, Cikini, Jakarta Pusat, Ahad, 5 Agustus 2018.
Maidina menyebutkan sejumlah pelanggaran yang terjadi. Pertama, korban baru didampingi penasihat hukum pada sidang perdana, yaitu 9 Juli 2018. Di situ, menurut dia, terlihat tidak ada agenda dengan kepentingan pembelaan dari pihak korban.
Maidina juga menemukan adanya indikasi penyiksaan pada tahap penyidikan. "Korban dan ibunya mencabut sebagian keterangan di persidangan. Mereka mengaku mendapat paksaan oleh penyidik pada proses penyidikan," kata dia. Selama persidangan pun, pengadilan menahan korban.
Baca juga: Polisi Dicerca dalam Kasus Korban Perkosaan Jadi Tersangka Aborsi
Apa yang dialami WA itu, menurut Maidana, tidaklah tepat. Sebab, dalam konvensi hak anak, penahanan terhadap anak harusnya menjadi upaya terakhir, khususya ketika anak menjadi korban perkosaan yang membutuhkan pemulihan trauma fisik dan psikis.
Advokat Lembaga Bantuan Hukum, Apik Veni Siregar, menilai ada pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hukum. "Penjatuhan pidana pada korban perkosaan yang melakukan aborsi sama sekali tidak mencerminkan rasa keadilan," ujarnya.
Pelanggaran lain, Veni menambahkan, tidak ada pembuktian dalam persidangan bahwa bayi yang ditemukan itu benar anak kandung korban. Bahkan, dalam visum et repertum pada bayi, tidak diketahui penyebab kematian bayi.
Baca: Lima Negara Ini Terapkan Hukuman Mati bagi Pelaku Perkosaan
"Penuntut umum dan majelis hakim dalam perkara sama sekali tidak menggali aspek psikologis korban. Bahkan, tidak ada pemeriksaan terkait dengan perkosaan yang dialaminya," kata Veni.
Seharusnya, kata Veni, dalam kasus perkosaan yang dialami WA, hakim berpegang pada Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum. Dalam aturan tertulis bahwa hakim wajib menggali rasa keadilan guna menjamin putusan yang berkeadilan.