Mahfud MD: Jangan Buru-buru Sahkan Revisi UU KPK
Reporter
Muh. Syaifullah (Kontributor)
Editor
Juli Hantoro
Kamis, 5 September 2019 15:49 WIB
TEMPO.CO, Yogyakarta - Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD meminta supaya DPR RI tak buru-buru mengesahkan revisi UU KPK atau Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sebabnya, kata Mahfud, anggota DPR periode baru sudah akan segera dilantik.
“Bulan depan sudah dilantik. Tidak sampai sebulan lagi, tinggal tiga minggu lagi DPR ganti,” kata Mahfud saat ditemui di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Kamis, 5 September 2019.
Dewan Pengarah BPIP itu mengatakan anggota DPR baru diharapkan membicarakan revisi UU KPK ini dengan lebih jernih dan hati-hati. “Tidak seperti kejar setoran begitu,” ujar dia.
DPR baru saja mengetuk palu draft revisi UU KPK dalam sidang paripurna hari ini, Kamis, 5 September 2019. Revisi ini menuai kontroversi karena beberapa pasalnya dapat melemahkan KPK.
Salah satunya adalah penyadapan yang harus melalui izin Dewan Pengawas KPK. Padahal sebelumnya, proses penyadapan yang dilakukan KPK didasarkan pada standar lawful interception sesuai standar Eropa, serta dipertanggungjawabkan melalui audit oleh pihak ketiga.
Mahfud mengatakan, apa yang diubah dalam UU KPK itu harus dibicarakan dengan masyarakat.
Ia mengatakan, di dalam sistem legislasi Indonesia di era reformasi ini, peran masyarakat sangat penting. “Kalau sekarang rakyat harus didengar apa maunya, untuk itu biar diumumkan dulu, ” kata Mahfud MD.
Hifdzil Alim, Direktur Hicon Law & Policy Strategies menyatakan jika
materi revisi Undang-Undang KPK masih sama dengan sebelumnya, kemungkinan besar akan mendapatkan penolakan dari publik.
“Terutama pasal penindakan, penyadapan dan penerbitan SP3,” kata dia.
Zaenur Rohman, peneliti di Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada menambahkan DPR menjadikan RUU KPK sebagai inisiatif mereka. Substansi perubahan dalam RUU itu, kata dia, sangat berbahaya bagi pemberantasan korupsi.
“Langkah DPR harus dibaca sebagai upaya pelemahan. DPR selama ini merasa terganggu oleh kerja KPK,” kata dia.
Ia menyatakan, KPK akan menjadi lemah, karena kehilangan independensi. Penyebabnya pertama, penyelidik harus dari polisi. Kedua, tidak ada penyidik independen. Ketiga, penuntutan KPK harus berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung.
“Jika Presiden punya komitmen pemberantasan korupsi, usulan perubahan UU KPK harus ditolak. Jika presiden menolak usulan tersebut tidak akan bisa disahkan, karena perlu persetujuan bersama antara DPR dan Presiden,” kata dia.