Ketua Tim Kemanusiaan Kabupaten Nduga, Papua, Theo Hasegem (tengah) memaparkan hasil Laporan Dugaan Korban Kekerasan dan Pelanggaran HAM Kabupaten Nduga di kantor Amnesty Internasional Indonesia, Jakarta Pusat, pada Rabu, 14 Agustus 2019.Theo didampingi anggota Staf Komunikasi dan Media Amnesty International Indonesia Haeril Halim (kiri) dan Direktur Yayasan Teratai Hati Papua Pater Jhon Jongga (kanan), Tempo/Halida
TEMPO.CO, Jakarta - Amnesty International Indonesia mengimbau pemerintah agar mendengarkan aspirasi masyarakat sipil Kabupaten Nduga, Papua, yang meminta penarikan mundur aparat militer.
"Tidak ada salahnya pemerintah pusat mendengarkan aspirasi masyarakat Nduga. Tentunya dengan ukuran aspek keamanan yang mesti dilihat pemerintah," kata anggota Staf Komunikasi dan Media Amnesty International Indonesia Haeril Halim di kantornya hari ini, Rabu, 14 Agustus 2019.
Menurut Haeril, dalam mengejar Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) pasukan TNI harus bertindak proporsional agar tak membahayalan warga sipil.
Menurut pemaparan Tim Kemanusiaan Kabupaten Nduga hari ini di kantor Amnesty International, korban meninggal mencapai 182 orang. Theo Hesegem, Direktur Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua, mengatakan korban tewas didominasi perempuan dan anak-anak (113 orang).
Korban meninggal disebabkan oleh tembakan oleh aparat TNI/Polri, kekerasan fisik seperti pemukulan dan perampasan, sakit, dan melahirkan di pengungsian dan hutan.
Haeril menilai apapun solusi yang ditempuh pemerintah harus memperhatikan aspirasi masyarakat Nduga. "Para pengungsi takut dan lari kehutan dan kabupaten lain. Mereka merasa aman jika tidak ada aparat."