Pengamat Hukum Sarankan Ada Perwakilan Oposisi di Pimpinan MPR
Reporter
Ahmad Faiz Ibnu Sani
Editor
Amirullah
Selasa, 30 Juli 2019 17:10 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Dosen Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Bivitri Susanti, mengatakan pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebaiknya tidak diisi hanya dari satu koalisi saja. Menurut dia, perlu ada perwakilan koalisi yang berbeda di kursi pimpinan agar terjadi perdebatan dalam menentukan agenda-agenda yang menjadi kewenangan MPR.
Bivitri mencontohkan rencana amandemen Undang-Undang Dasar 1945 yang mengemuka belakangan ini. Jika paket pimpinan MPR diisi hanya dari satu koalisi, agenda yang akan dilakukan adalah yang hanya menguntungkan satu sisi dan jauh dari harapan publik.
"Akan lebih baik bila di level pimpinan yang tertinggi ada perdebatan yang substantif. Misal dua pimpinan mau amandemen tapi yang tiga enggak. Nah, diperdebatkan dulu di level pimpinan baru dibawa ke bawah," kata dia dalam diskusi Negoisasi Kursi Ketua MPR di Jalan Raden Saleh, Jakarta, Selasa, 30 Juli 2019.
"Kalau misal lima-limanya dari satu koalisi, udah semua setuju amandemen, gak ada perdebatan, agendanya ditaruh dan dibahas. Itu bahayanya. Jadi mendingan dicampur saja," ucap Bivitri.
Bivitri meyakini pimpinan MPR yang terdiri dari campuran koalisi bisa terwujud. Pasalnya dalam Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD tidak disebutkan paket pimpinan MPR harus berasal dari satu koalisi saja. "Bisa saja paket itu satu paket tapi isinya itu tadi misal ada satu orang PDIP, PKS, PAN, dan seterusnya," ujarnya.
Selain itu, Bivitri berharap pimpinan MPR yang bakal kembali berjumlah lima orang tidak ditambah lagi hanya demi mengakomodir kepentingan partai politik. Alasannya tugas pimpinan MPR lebih banyak memimpin sidang, bukan hal-hal yang bersifat fungsional.
"Padahal di lain sisi fasilitas mereka, fasilitas protokoler dan keuangan, yang berlebih menurut saya jadi gak relevan dari segi jumlah (pimpinan yang banyak)," kata Bivitri.