Ahli Hukum Kritik Poin Tuntutan Sengketa Pilpres Kubu Prabowo
Reporter
Dewi Nurita
Editor
Amirullah
Minggu, 16 Juni 2019 13:05 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Ahli hukum tata negara Bivitri Susanti menilai sejumlah poin tuntutan dalam permohonan gugatan perselisihan hasil pemilihan umum yang diajukan tim hukum Prabowo - Sandi seperti tidak dibuat oleh orang hukum.
Baca: Komisioner KPU: Tuntutan Kubu Prabowo di Sidang MK Tidak Nyambung
Beberapa poin yang disoroti Bivitiri adalah poin kelima yang meminta agar Mahkamah Konstitusi membatalkan (mendiskualifikasi) pasangan Jokowi-Maruf sebagai peserta Pemilu 2019. Dilanjutkan poin keenam yakni menetapkan pasangan Prabowo-Sandiaga sebagai presiden dan wakil presiden terpilih periode 2019-2024.
Poin tuntutan lainnya yang disoroti yakni poin tiga belas, yaitu memerintahkan kepada lembaga negara yang berwenang untuk melakukan pemberhentian seluruh komisioner dan melakukan rekrutmen baru untuk mengisi jabatan komisioner KPU.
"Tuntutan-tuntutan ini tidak lazim. Seakan yang bikin bukan orang hukum. Itu bukan lagi kewenangan MK," ujar Bivitiri dalam sebuah acara diskusi di bilangan Gondangdia, Jakarta pada Ahad, 16 Juni 2019.
Bivitiri menegaskan, kewenangan MK adalah memproses sengketa hasil dan bukan sengketa proses atau urusan administratif.
Pakar hukum tata negara Refly Harun mengatakan Mahkamah Konstitusi bisa saja mendiskualifikasi pasangan calon Presiden Joko Widodo atau Jokowi - Ma'ruf Amin sesuai tuntutan kubu Prabowo Subianto - Sandiaga Uno.
"Kewenangan MK diberikan oleh konstitusi dan tidak boleh dibatasi oleh undang-undang, fungsi MK itu the guardian of the constitution, sebagai penjaga konstitusi," kata Refly saat dihubungi, Sabtu, 15 Juni 2019.
Baca: Tim Hukum Prabowo dan LPSK Diskusikan 5 Poin Perlindungan Saksi
Dalam perkembangannya, kata Refly, MK sudah beberapa kali mengeluarkan putusan membatalkan pencalonan peserta pemilihan kepala daerah. "Beberapa daerah seperti Kotawaringin Barat, Kemudian Konawe Selatan, dan Bengkulu Selatan," ujar dia.
Menurut Refly, putusan MK yang menggugurkan pasangan calon dalam pemilu sudah dipraktikkan, walaupun dalam Pilpres memang belum pernah terjadi karena sejak 2004 permohonan selalu ditolak. "Tapi kan yang namanya paradigma itu mestinya satu kesatuan," ujar Refly.