ICW Tuntut PN Tangerang Tolak Gugatan Perdata Sjamsul Nursalim
Reporter
Andita Rahma
Editor
Tulus Wijanarko
Selasa, 11 Juni 2019 16:19 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Indonesia Corruption Watch (ICW) menuntut agar Pengadilan Negeri Tangerang tidak menerima permohonan gugatan perdata yang dilayangkan oleh Sjamsul Nursalim.
Baca juga: KPK Tetapkan Sjamsul Nursalim dan Istri Tersangka Korupsi BLBI
"Kami menuntut agar pengadilan tidak menerima permohonan gugatan perdata yang dilayangkan oleh Sjamsul Nursalim," ujar peneliti ICW Kurnia Ramadhana melalui siaran pers, Selasa, 12 Juni 2019.
Sjamsul adalah tersangka dalam perkara korupsi pemenuhan kewajiban obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) pada Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Sjamsul dan Itjih S. Nursalim (isteri) sebagai tersangka dalam perkara tersebut pada 11 Juni 2019.
Sjamsul lalu melayangkan gugatan perdata terhadai auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) I Nyoman Wara, serta kelembagaan BPK sebagai instansi, yang menerbitkan laporan hasil audit investigatif terhadap perkara ini. Melalui kuasa hukumnya, dia menduga BPK tidak berpegangan pada prinsip objektif, independen, dan tidak memuhi standar pemeriksanaan audit sebagaimana mestinya.
ICW melihat, pasal yang disangkakan kepada Sjamsul dan Itjih tersebut mensyaratkan adanya kerugian keuangan negara. "Sederhananya, jika unsur tersebut dibatalkan oleh pengadilan maka BPK akan menghitung ulang dan diduga akan memakan waktu yang cukup lama. Tentu hal ini dikhawatirkan akan dimanfaatkan oleh Nursalim agar terlepas dari jerat hukum KPK," kata Kurnia.
Ada lima alasan, menurut ICW, bahwa gugatan perdata Sjamsul salah alamat. Pertama, audit BPK yang dilakukan pada tahun 2017 lalu telah dibenarkan oleh hakim pada persidangan dengan terdakwa Syafruddin Arsyad Tumenggung. Pada saat pembacaan putusan, Tumenggung secara sah dan meyakinkan telah terbukti merugikan keuangan negara sebesar Rp 4,58 triliun karena menerbitkan Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada Nursalim. S
Selain itu, dalam putusan tersebut telah spesifik menyebutkan nama pihak lain yang harus dimintai pertanggungjawaban pidana, yakni Sjamsul Nursalim, Itjih Nursalim, dan Dorodjatun.
Padahal berdasarkan Legal Due Dilligence dan Financial Due Dilligence yang sebelumnya dilakukan diketahui aset berupa piutang BDNI kepada petambak udang Dipasena sebesar Rp 4,8 triliun terdapat misrepresentasi. Sehingga tidak layak dijadikan jaminan untuk melunasi hutang Nursalim kepada negara.
Bahkan untuk memperkuat dalil diatas, pada tahun 2007 lalu aset tersebut setelah dilelang negara ternyata hanya bernilai Rp 220 milyar. "Sehingga atas dasar itu Nursalim diduga diuntungkan sebesar Rp 4,58 triliun atas penerbitan SKL," ucap Kurnia.
Kedua, audit BPK dengan jenis pemeriksaan dengan tujuan tertentu atau investigatif tidak membutuhkan tanggapan dari pihak yang diperiksa. Dalam beberapa pernyataan, kuasa hukum Nursalim menyebutkan audit yang dilakukan BPK tidak sah karena belum melampirkan tanggapan dari pihak yang diperiksa. Tentu ini pendapat yang keliru, karena dalam aturan internal BPK (PSP-300 tentang Standar Pelaporan Pemeriksaan) menyebutkan bahwa untuk pemeriksaan investigatif tidak perlu tanggapan dari pihak yang diperiksa.
Ketiga, audit yang dilakukan oleh BPK dilakukan atas permintaan KPK dalam rangka Penghitungan Kerugian Negara atas Dugaan Tindak Pidana Korupsi dalam Pemberian Surat Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham/Surat Keterangan Lunas kepada Sjamsul Nursalim selaku Pemegang Saham Pengendali BDNI pada tahun 2004.
"Hal ini merupakan bagian dari kewenangan sekaligus kewajiban KPK," kata Kurnia. Lebih lanjut, audit BPK yang dilakukan pada tahun 2002, 2006, dan 2017 tidak bisa disamakan. Sebab pada prinsipnya ruang lingkup audit berbeda satu sama lain.
Terakhir, seorang ahli yang memberikan kesaksian di muka persidangan tidak bisa dituntut secara pidana maupun perdata atas keterangan yang disampaikan. Hal ini diatur dalam Pasal 32 ayat (1) United Convention Against Corruption yang telah diratifikasi dalam UU No 7 Tahun 2006 yang menyebutkan bahwa seorang ahli harus mendapat perlindungan dari negara.