Kasus Robertus Robet, Imparsial: Otoritarian Orde Baru Masih Ada
Reporter
Fikri Arigi
Editor
Juli Hantoro
Kamis, 7 Maret 2019 20:20 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Ketua Imparsial, Gufron Mabruri melayangkan kritik keras terhadap penangkapan aktivis dan dosen Universitas Negeri Jakarta, Robertus Robet oleh polisi. Ia menilai penangkapan ini adalah represi yang lahir dari mentalitas otoritarian orde baru.
Baca juga: Pengacara Upayakan Robertus Robet Tak Ditahan
“Warisan otoritarian orde baru masih bertahan sampai sekarang. Kultur apa yang dialami oleh Robet kritik dia pada pemerintah,” kata Gufron di kantor Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, Kamis, 7 Maret 2019.
Gufron mengatakan selain Robet masih banyak aktivis yang dikriminalisasi. Aktivis yang melakukan advokasi di sektor-sektor buruh, atau petani, kata dia, kerap mendapat respon yang represif dari aparat keamanan. Situasi ini menurutnya tentu peru disikapi secara serius, menandalan demokrasi mengalami defisit.
Robet ditangkap di rumahnya pada Rabu 6 Maret 2019 pukul 23.45 WIB untuk dibawa ke Mabes Polri di Jalan Trunojoyo, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Penangkapan tersebut diduga berkaitan dengan beredarnya potongan video Tolak Dwi Fungsi TNI saat aksi Kamisan pada Kamis, 28 Maret 2019.
Gufron menilai, tidak ada yang salah dengan orasi Robet. Menurutnya lagu yang ia nyanyikan pada orasi tersebut pun tidak menghina tetapi bentuk kritik atas kebijakan dwifungsi Abri di masa lalu, yang ia nilai relevan dengan kondisi saat ini.
“Kritik ini harus disikapi secara wajar. Kebebasan dalam konteks demokrasi. Kalaupun ada ketidaksetujuan, reaksi represif tentu tidak dibenarkan, seharusnya dibalas gagasan, narasi yang kostruktif. Tidak bisa persekusi online, itu sangat anti demokrasi,” ujar dia.
Baca juga: Selesai Diperiksa Bareskrim, Robertus Robet Dipulangkan
Gufron menambahkan, penangkapan Robertus Robet ini bisa jadi preseden buruk. Karena aktivis, maupun pers berpotensi diperlakukan sama. Untuk itu ia mengatakan preseden buruk ini perlu dilawan.
Juru bicara Mabes Polri Brigadir Jenderal Dedi Prasetyo mengatakan, pasal yang dikenakan ialah Pasal 207 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) terkait penghinaan kepada penguasa atau badan umum yang ada di Indonesia.