Mengenang Rahman Tolleng, Kolega dan Sahabat Berbagi Kesan
Reporter
Budiarti Utami Putri
Editor
Rina Widiastuti
Kamis, 7 Februari 2019 23:32 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Keluarga, kolega, dan sahabat Rahman Tolleng mengenang sosok aktivis demokrasi itu yang wafat pada 29 Januari lalu itu. Mereka berkumpul di lantai 8 Gedung Tempo, Palmerah, Jakarta, dalam acara yang bertajuk "Mengenang Rahman Tolleng: Politik Tegak Lurus".
Baca: Malam untuk Rahman Tolleng, Guru Politik Para Aktivis
Rahman Tolleng merupakan salah satu evaluator Opini Tempo. Dia tinggal di Sukamulya, Bandung, Jawa Barat. Selama 20 tahun lebih, setiap Selasa, Rahman rutin pergi ke Jakarta untuk mengikuti rapat opini yang digelar tiap Rabu.
"Sampai saat ini kami masih membiarkan kursi Pak Rahman Tolleng kosong. Kami mengingat beliau pernah di situ," kata Pemimpin Redaksi Majalah Tempo, Arif Zulkifli,Kamis malam, 7 Februari 2019.
Para kolega dan sahabat bergantian menuturkan pengalaman dan kesan mereka akan sosok Rahman. Adalah Marsillam Simanjuntak, mantan Jaksa Agung dan kawan Rahman sejak sekitar 1966 yang pertama bercerita. Meski kenal sejak awal Orde Baru, Marsillam mengaku baru dekat dengan Rahman pada 1974-2019.
Awal 1974, Rahman yang merupakan anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Partai Golkar dituduh berada di balik demonstrasi besar pada 15 Januari--dikenal peristiwa Malari. Dia dipecat dari keanggotaannya di Golkar dan ditahan di penjara Budi Utomo, menyusul Marsillam yang ditangkap lebih dulu. Setelah bebas, keduanya bersama Abdurrahman Wahid membentuk Forum Demokrasi.
Baca: Pandangan Rahman Tolleng dalam Surat Dari dan Untuk Pemimpin
"Saya dan Rahman juga kemudian bersama-sama di Tempo menjadi sparring partner Goenawan Mohamad untuk Opini," kata Marsillam, Kamis malam, 7 Februari 2019.
Cerita selanjutnya mengalir dari politikus senior Partai Golkar Sarwono Kusumaatmaja. Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan ini mengisahkan perkenalannya dengan Rahman semasa masih sama-sama menjadi mahasiswa Institut Teknologi Bandung.
Hadirin tergelak saat Sarwono menceritakan imajinasinya akan sosok seniornya itu. Tak kenal wajah, Sarwono mengira Rahman tampak seram dengan latar belakangnya sebagai orang Bugis. Penasaran, dia dan Wimar Witoelar menyambut senang undangan seorang teman untuk bertemu Rahman.
"Kami lihat orang kurus tidur meringkuk. Ternyata dia Rahman Tolleng," kata Sarwono mengundang tawa hadirin.
Baca: Rachmat Witoelar: Rahman Tolleng Guru Semua Orang
Menurut Sarwono, Rahman termasuk salah satu orang yang menganjurkan para mahasiswa kala itu untuk masuk politik dan parlemen. Meski akhirnya Rahman disingkirkan dari partai beringin, Sarwono menyebut, "Rahman di Golkar sangat powerful sebetulnya."
<!--more-->
Rahman Tolleng dikenal kritis sepanjang hidupnya. Dia berani mengkritik Soeharto dan sempat mengusulkan Golkar menjadi partai modern. Kendati, usul itu ditampik.
Baca: Jejak Aktivis Demokrasi Rahman Tolleng di Bidang Politik
Sosiolog Robertus Robert menuturkan, meski terjun ke politik Rahman Tolleng tetaplah seorang independen. Robert menyebut Rahman sebagai political man, seorang yang tak bisa dideterminasi oleh lingkungan eksternalnya.
"Dia selalu ingin mengabdikan diri ke politik, tapi pada saat yang sama ingin independen," kata murid Rahman Tolleng di Perhimpunan Pendidikan Demokrasi (P2D) ini.
Jurnalis senior Jopie Hidayat, yang juga salah satu evaluator Opini Tempo, mengatakan meninggalnya Rahman membuat banyak orang kehilangan. Menurut Jopie, pemikiran dan politik tegak lurus ala Rahman amat dibutuhkan di tengah situasi politik dengan bipolarisme yang mengental saat ini. Tempo, kata Jopie, tak terlepas dari jebakan ini.
"Di sinilah Pak Rahman meletakkan tarik-menarik ini di garis tengah yang sangat jernih. Keberpihakannya hanya pada demokrasi dan civil supremacy," ujar Jopie.
Istri Rahman Tolleng, Tati Rahman, berterima kasih atas perhatian sahabat dan kolega terhadap almarhum suaminya. Dia tak menyangka begitu banyak orang yang peduli dan turut merasa kehilangan sosok Rahman. "Terima kasih atas perhatian dari semua pihak, yang muda maupun tua, saya sangat terharu," kata Tati.
Salah satu anak Rahman Tolleng, Erman Rahman, masih ingat perbincangan serius terakhir dengan ayahnya. Tiga hari sebelum mangkat, Rahman membicarakan Ging Ginanjar, jurnalis BBC yang meninggal dunia pada Ahad, 20 Januari 2019.
Kepada Erman, Rahman mengaku sedih dan berduka dengan kepergian Ging. Namun, Rahman menutup perbincangan dengan keyakinan bahwasannya Ging sudah menjalani hidup dengan lengkap.
Baca: Tokoh Pergerakan Rahman Tolleng Meninggal Karena Sakit
"Kasian ya Ging, cepat banget. Tapi ya enggak apa-apalah, Ging hidupnya sudah lengkap," kata Erman menirukan. "Dan sekarang dua orang yang sudah lengkap itu sudah barengan."