TEMPO Interaktif, Jambi: Kejaksaan Tinggi Jambi saat ini tengah mengusut kasus kredit macet Bank Mandiri yang diberikan kepada PT Tunjuk Langit Sejahtera (TLS) senilai Rp 96 miliar. "Kami sudah masuk tahap penyidikan,” kata Asisten Intel Kejaksaan Tinggi Jambi, Chaerul Amir, kepada Tempo, Senin (11/2). Menurut Chaerul, dalam pencairan kredit ini, PT TLS juga diduga menggunakan jaminan fiktif. “Penggunaan dana yang diberikan juga tidak sesuai dengan peruntukan," kata di lagi. Berdasarkan hasil penyelidikan, kejaksaan menemukan adanya keterlibatan banyak orang. Selain dari PT TLS juga terdapat karyawan Bank Mandiri. Sedikitnya 20 orang sudah dimintai keterangan sebagai saksi. "Kami sebenarnya sudah menetapkan tersangka. Tapi agar mereka tidak melarikan diri dan menghilangkan barang bukti, maka tunggu seminggu lagi baru bisa kami umumkan,” ujar Chaerul. Kasus ini bermula pada 1994, PT TLS mendapat izin usaha membuka lahan seluas 9.800 hektare untuk perkebunan kelapa sawit di kawasan 22 desa, dalam lima kecamatan dan dua kabupaten, yakni Kabupaten Batanghari dan Kabupaten Tebo. Dalam perjanjian perusahaan akan melibatkan sedikitnya 4.000 petani untuk dijadikan peserta plasma, dengan sistem bagi hasil 70 bagi petani dan 30 untuk perusahaan. Tahap awal, antara 1994-1995, dengan memanfaatkan KUD Sadar melalui program kredit Koperasi Primer Anggota (KKPA), perusahaan mengajukan pinjaman ke Bank Mandiri pusat dan dicairkan sebesar Rp 81 miliar. Dana ini rencananya akan digunakan untuk biaya membuka kebun dan membuat pabrik. Namun belakangan, kebun yang dijanjikan itu tidak pernah ada. Perusahaan pun tidak pernah membayar angsuran kepada bank. Anehnya, sekitar 1998, perusahaan mengajukan lagi dana pinjaman ke Bank Mandiri pusat sebesar Rp102 miliar. Pinjaman itu disetujui dan dicairkan pada tahun 2004 sebesar Rp 96 miliar. Pinjaman kedua ini juga menggunakan agunan yang sama, yaitu sertifikat milik petani peserta plasma, tapi kasus kedua ini pihak perusahaan tidak pernah meminta persetujuan terlebih dahulu kepada para petani. Hingga 2005, kredit yang seharusnya diangsur pihak perusahaan macet total. (SYAIPUL BAKHORI)