12 Tahun Aksi Kamisan, Perlunya Komisi Kepresidenan dan UU KKR
Reporter
Budiarti Utami Putri
Editor
Tulus Wijanarko
Kamis, 17 Januari 2019 15:18 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Mantan anggota Dewan Pertimbangan Presiden bidang Hukum dan HAM era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Albert Hasibuan mendorong terbentuknya kembali komisi kepresidenan dan Undang-undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Albert pernah menggagas terbentuknya komisi ini saat menjabat sebagai Wantimpres SBY.
"Komisi kepresidenan ini mengkaji suatu kasus pelanggaran HAM berat harus diselesaikan dengan cara apa," kata Albert kepada Tempo, Selasa lalu, 15 Januari 2019. Harapan ini disampaikan Albert mengingat berlarutnya upaya penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu di Indonesia.
Usulan ini kembali mendapat momentum bersamaan dengan Aksi Kamisan yang hari ini sudah memasuki tahun ke-12. Aksi Kamisan dilakukan oleh keluarga korban pelanggaran Hak Azasi Manusia dengan cara berdiam diri di seberang Istana Negara. Aksi ini pertama kali dilakukan pada 18 Januari 2007 silam. Hingga kini, belum ada penyelesaian mendasar terhadap sejumlah kasus pelanggaran HAM di Indonesia.
Untuk itulah, Albert yang juga pernah menjadi Ketua Penyelidik Pelanggaran HAM Timor Timur, KPP Abepura, dan KPP Trisakti, Semanggi I dan II, memandang perlu ada lagi Undang-undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Indonesia sebelumnya memiliki UU KKR Nomor 27 Tahun 2004, tetapi UU ini dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi pada 2006 karena dinilai bertentangan dengan Undang-undang Dasar 1945 dan tidak dapat menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat.
Menurut Albert, UU itu bisa diusulkan kembali dengan menghilangkan pasal-pasal yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Meski begitu, Albert menilai dua langkah ini amat memerlukan politicial will dari pemerintah untuk membentuk Komisi Kepresidenan dan DPR untuk UU KKR.
"Ada beberapa ketentuan yang sekarang ini tidak ada. Penyelesaian masalah pelanggaran HAM jadi terkatung -katung," ujar mantan komisioner Komnad HAM 1993-2002 ini.
Upaya penuntasan kasus pelanggaran HAM berat selama ini dilakukan oleh Komnas HAM dan Kejaksaan Agung. Namun dalam praktiknya, Kejaksaan Agung acapkali mengembalikan berkas hasil penyelidikan Komnas HAM dengan dalih hasil tidak lengkap.
Pada 27 November lalu, misalnya, Kejaksaan mengembalikan 9 berkas hasil penyelidikan Komnas HAM. Sembilan berkas itu ialah Peristiwa 1965, Peristiwa Talangsari 1998, Peristiwa Penembakan Misterius 1982-1985, Peristiwa Trisakti, Semanggi I, dan Semangi II, Peristiwa Kerusuhan Mei 1998, Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998, Peristiwa Wasior dan Wamena, Peristiwa Simpang KKA 3 Mei 1999, dan Peristiwa Rumah Geudong dan Pos Sattis di Aceh.<!--more-->
Menurut Albert, alasan serupa dari institusi Kejaksaan Agung sudah dia dengar sejak menjabat sebagai KPP Timor Timur dan Abepura. Advokat senior ini berujar, kejaksaan-lah yang semestinya menindaklanjuti temuan Komnas HAM dengan perangkat yang lebih memadai dan profesionalisme.
Selain itu, kata Albert, jaksa agung semestinya tak menerapkan standar hukum formal yang kaku dalam kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. "Saya usulkan ada pemudahan-pemudahan, agar bisa dibawa ke pengadilan," kata Albert.
Albert mengimbuhkan, penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu perlu segera dilakukan demi pemenuhan keadilan dan hak-hak korban. Apalagi, kata dia, para korban dan keluarga korban kini sudah semakin tua.
Semisal, kata Albert, Aksi Kamisan --aksi damai menuntut penuntasan pelanggaran HAM masa lalu dan penegakan HAM-- sudah mencapai usia 12 tahun. Albert berujar, Jaringan Solidaritas Keluarga Korban (JSKK) yang tergabung dalam aksi itu sudah semakin renta.
Albert juga mengungkapkan harapannya agar dua calon presiden yang berkontestasi di pemilihan presiden 2019, yakni Joko Widodo dan Prabowo Subianto, menaruh perhatian kepada persoalan hak asasi manusia.
Prabowo memiliki rekam jejak yang diduga terkait pelanggaran HAM, sedangkan Jokowi belum mampu menuntaskan janji kampanyenya sat pilpres 2014. Kendati tak menafikan hal ini, Albert mengaku tak ingin menutup kemungkinan kedua orang itu berubah dan menaruh perhatian terhadap isu-isu penegakan HAM.
Dia juga berharap isu itu dibahas dalam pelaksanaan debat perdana pemilihan presiden 2019 yang akan berlangsung nanti malam. "Saya harap ada perhatian dari orang-orang yang berdebat ini, dan ada pernyataan yang membangkitkan semangat para korban," kata dia.
BUDIARTI UTAMI PUTRI