MK Kabulkan Gugatan Uji Materi Batas Usia Perkawinan
Reporter
Budiarti Utami Putri
Editor
Amirullah
Kamis, 13 Desember 2018 17:03 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Mahkamah Konstitusi atau MK mengabulkan sebagian dari gugatan uji materi terkait pembedaan usia perkawinan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. MK menyatakan perbedaan batas usia perkawinan laki-laki dan perempuan dalam UU tersebut menimbulkan diskriminasi.
Baca: KPU Diminta Ikuti MK soal Oso untuk Jaga Semangat Pembentukan DPD
"Mengabulkan, mengadili permohonan para pemohon untuk sebagian," demikian bunyi amar putusan yang diunggah dari website mahkamahkonstitusi.go.id pada Kamis, 13 Desember 2018. Amar putusan dibacakan oleh Ketua MK Anwar Usman.
Pembedaan batas usia perkawinan antara laki-laki dan perempuan sebelumnya digugat oleh sekelompok orang yang menunjuk beberapa kuasa hukum, salah satunya Erasmus Napitupulu. Mereka menyoal pasal 7 ayat 1 UU Perkawinan yang mengatur batas minimal usia perkawinan 19 tahun untuk laki-laki dan 16 tahun untuk perempuan.
Dalam pertimbangannya, MK menilai pasal itu bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 yang menyebut bahwa setiap warga negara memiliki kedudukan sama di hadapan hukum.
Baca: Perludem Sudah Duga MK Akan Tolak Gugatan Presidential Threshold
MK juga menyatakan UU Perkawinan tidak sinkron dengan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. UU Perlindungan Anak mengatur bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun. "Perkawinan yang dilakukan di bawah batas usia yang ditentukan dalam UU Perlindungan Anak adalah perkawinan anak," kata Hakim MK I Gede Dewa Palguna.
MK juga membeberkan sejumlah dampak buruk perkawinan anak, semisal terkait aspek kesehatan dan pendidikan. Jika diletakkan dalam konteks lebih luas, ujar Palguna, perkawinan anak sangat mungkin mengancam dan berdampak negatif terhadap kesehatan anak lantaran belum tercapainya batas kematangan ideal reproduksi. Potensi eksploitasi dan kekerasan terhadap anak pun turut meningkat.
Menurut Palguna, batas usia 16 tahun bagi perempuan juga berimbas terhadap hak anak mendapatkan pendidikan. Palguna mengatakan aturan ini potensial dinilai melanggar kewajiban konstitusional warga negara untuk mengikuti pendidikan dasar. Dengan kata lain, pembedaan aturan itu membuat laki-laki memiliki rentang waktu lebih panjang ketimbang perempuan.
Baca: Cerita Maryanti, Pemohon Uji Materi UU Perkawinan
"Hal demikian tidak sejalan dengan agenda pemerintah ihwal wajib belajar 12 tahun karena jika seorang perempuan menikah pada usia 16 tahun, maka dia akan kehilangan kesempatan memperoleh pendidikan 12 tahun," ujar Palguna.
Palguna menuturkan, kebijakan hukum pembentuk UU yang membedakan batas usia menikah antara laki-laki dan perempuan awalnya merupakan kesepakatan nasional. Namun, dia mengakui kesepakatan itu tak lagi relevan dengan perkembangan hukum dan konstitusi di Indonesia.
Kendati begitu, MK menyatakan tak memutuskan batas minimal usia perkawinan. MK berpandangan penentuan batas usia minimal perkawinan merupakan kewenangan pembentuk UU. Penetapan batas usia perkawinan oleh MK justru dinilai menutup ruang bagi pembentuk UU untuk mempertimbangkan lebih fleksibel sesuai perkembangan hukum dan masyarakat.
Maka dari itu, MK pun memerintahkan kepada pembentuk UU, dalam hal ini Dewan Perwakilan Rakyat untuk melakukan perubahan UU Perwakinan dalam jangka waktu tiga tahun.
"Memerintahkan kepada pembentuk undang-undang untuk dalam jangka waktu paling lama tiga tahun melakukan perubahan terhadap Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, khususnya berkenaan dengan batas minimal usia perkawinan bagi perempuan," kata Anwar.