Berkaca Kasus Baiq Nuril, Korban Pelecehan Seksual Jangan Bungkam
Reporter
Francisca Christy Rosana
Editor
Ninis Chairunnisa
Selasa, 27 November 2018 16:03 WIB
TEMPO.CO, Jakarta – Angka kekerasan dan pelecehan terhadap perempuan meningkat setiap tahun. Catatan Tahunan Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menunjukkan bahwa pada 2017, terdapat 348.446 jumlah pelapor yang terekam dalam daftar.
Ketua Komnas Perempuan Azriana mengatakan tren kekerasan terhadap perempuan pada 2017 itu melonjak tajam dari tahun sebelumnya yang hanya 259.150 kasus. “Jumlah pelapor meningkat, tingkat kekerasan terhadap perempuan juga makin tinggi,” kata Azriana di kawasan, Kalibata Timur, Jakarta Selatan pada pertengahan November lalu.
Baca: Menteri Yohana Yambise Buka Suara Soal Kasus Baiq Nuril
Meski korban makin banyak yang mengadu, tak sedikit pula yang masih memilih bungkam untuk menutupi kasusnya. Azriana mengatakan rata-rata korban merasa tertekan bila harus menguak identitasnya sebagai korban pelecehan seksual. Ada beberapa faktor yang melekat. Salah satunya adalah ketakutan dilaporkan balik oleh pelaku dengan dalih pencemaran nama baik.
Azriana pun mencontohkan kasus yang dialami Baiq Nuril Maknun. Nuril merupakan mantan pegawai tata usaha SMA Negeri 7 Mataram, Nusa Tenggara Barat, yang mengalami pelecehan seksual secara verbal oleh eks kepala sekolah tempatnya bekerja, Muslim. Kasus pelecehan itu ia rekam di ponsel.
Alih-alih mendapat perlindungan, Nuril malah diseret ke ranah hukum karena ia dituding menyebarkan rekaman percakapan mesum Muslim. Muslim melaporkan Nuril dengan tuduhan pelanggaran Pasal 27 ayat 1 Undang-undang ITE. Atas pelaporan ini, Nuril digelandang ke pengadilan. Namun di Pengadilan Negeri Mataram, ia terbukti tidak bersalah berdasarkan putusan Nomor 265/Pid.Sus/2017/PN.
Kasus Nuril kembali ramai dibicarakan karena Jaksa Penuntut Umum mengajukan kasasi. Mahkamah Agung yang menyidangkan kasasi menjatuhkan vonis bersalah terhadap Nuril lantaran dianggap mendistribusikan informasi elektronik yang memuat konten asusila. Ibu tiga anak itu divonis 6 bulan bui dan denda RP 500 juta. Bila denda tak bisa dibayar, ia akan dipidana kurungan selama 3 bulan.
Menurut Azriana, kasus yang menimpa Nuril merupakan tindak upaya pelaku untuk mengintimidasi korban supaya mereka tidak jadi melaporkan kasus pelecehan seksual yang dideranya. “Itu pola pelaku untuk tidak terjerat hukum,” kata Azriana.
Meski begitu, Azriana mengatakan kasus Nuril dapat menjadi motivasi bagi korban kekerasan seksual untuk tak bungkam terhadap kasusnya. Nuril melakukan perlawanan dengan melaporkan Muslim ke Kepolisian Daerah NTB atas pelanggaran Pasal 294 ayat 2 ke 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang pegawai negeri yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang di bawah perintahnya atau dengan orang yang dipercayakan atau diserahkan kepadanya untuk dijaga. Ia didampingi 15 orang pengacara.
Baca: Jokowi Disebut Langgar UU Bila Berikan Grasi ke Baiq Nuril
Jika korban tetap diam, kata Azriana, mereka akan semakin menderita. Korban tidak menerima keadilan dan akan terus terpuruk dalam bayang-bayang masa lalu yang buruk. “Bu Nuril memberi teladan bagaimana ketika kita mengalami kekerasan seksual,” ujarnya.
Saat ini, Polda NTB tengah melakukan serangkaian pemeriksaan. Nuril telah diperiksa sebagai terlapor. Tiga saksi lain juga sudah diperiksa. Hari ini, penyidik memeriksa Muslim sebagai saksi terlapor. Kuasa hukum Muslim, Karmal Maksudi belum mau mengungkap materi pemeriksaan atau kasus ini. "Nanti kita lihat hasil BAP," kata dia pada Selasa, 27 November 2018.
Upaya perlawanan Nuril tak sampai di situ. Nuril bersama kuasa hukumnya juga memutuskan untuk melayangkan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung. Namun saat ini, pihak kuasa hukum tengah menanti salinan putusan kasasi dari MA. "Sampai sekarang salinan putusannya belum kami terima. Jadi kami harus melihat putusan kasasinya dulu, baru bisa mengajukan PK," kata kuasa hukum Nuril, Joko Jumadi pada Senin, 26 November 2018.
Baca: Baiq Nuril Masih Menunggu Salinan Putusan MA
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Yembise memberi perhatian penuh terhadap kasus ini. Bahkan ia meminta Biro Hukum di kementeriannya untuk menangani kasus Nuril. "Pelaku laki-laki harus juga dihadapkan ke ranah hukum agar diadili dan diberikan hukuman setimpal dengan perbuatannya sebagai predator seks," ujarnya.
Ia pun menyebut bahwa kasus Nuril ini mengindikasikan masih adanya ketidakadilan penegakan hukum dan diskriminasi terhadap kaum perempuan. “Jangan wanita saja yang dikorbankan. Ada ketidakadilan penegakan hukum. Diskriminasi terhadap kaum perempuan masih tinggi di negara ini," kata Yohana kepada Tempo, Kamis, 22 November 2018.
ANTARA | ABDUL LATIF PARIAMAN
Baca: Koalisi Perempuan Serukan 6 Pernyataan Sikap terkait Kasus Baiq Nuril