Potret Anak Sekolah di Ujung Barat Tanah Borneo
Reporter
Dewi Nurita
Editor
Rina Widiastuti
Minggu, 4 November 2018 05:10 WIB
TEMPO.CO, Kalimantan Barat - Seperti anak Sekolah Dasar lainnya, Epi juga menggenakan seragam warna merah putih. Anak berusia 12 tahun, yang kini duduk di kelas 4 SD Negeri 16 Dusun Gun Jemak, Desa Suruh Tembawang, Entikong, Kalimantan Barat, itu tak memakai sepatu, melainkan sendal jepit.
Baca: Menilik Kehidupan Prajurit TNI di Tapal Batas
Bersama teman-temannya, ia menyanyikan lagu 'Garuda Pancasila' dengan bersemangat. Suara mereka menggema memenuhi ruangan kelas pada pagi itu, Rabu, 31 Oktober 2018. "Pribadi bangsaku, ayo maju maju, ayo maju maju, ayo maju maju".
"Saya cinta Indonesia, hafal Pancasila dan Indonesia Raya," kata Epi saat ditemui di sekolahnya. Ia mengaku senang bisa bersekolah.
SD tempat Epi bersekolah merupakan satu-satunya di Desa Suruh Tembawang. Meski ruang kelas masih berlantaikan tanah, dinding kelas banyak lubang, bagi dia, sekolahnya itu bagus dan menyenangkan.
Epi tak tahu apakah kelak bisa melanjutkan sekolah setelah tamat SD. Tak banyak anak-anak di tempatnya yang bisa menamatkan pendidikan SMP (Sekolah Menengah Pertama) dan SMA (Sekolah Menengah Atas).
Jika ingin melanjutkan sekolah, Epi harus keluar dari desanya. Sebab, di desanya tak ada SMP apalagi SMA. Anak-anak yang ingin sekolah harus ke Kecamatan Entikong, yang jaraknya sekitar empat jam dari tempat itu.
Selain kondisi sekolah yang tak layak, tenaga pengajar pun sangat minim. Kepala Sekolah SD Negeri 16 Jemak, Sofyanus, mengatakan, hanya ada tiga guru berstatus Pegawai Negeri Sipil dan tiga guru berstatus sebagai honorer. Mereka harus mengajar semua mata pelajaran di delapan kelas, yakni tiga kelas jauh dan lima kelas di SD induk.
<!--more-->
Kendati demikian, dengan segala keterbatasan sarana dan prasarana, sekolah ini tetap menerapkan kurikulum 2013, seperti yang dicanangkan pemerintah pusat. "Karena kekurangan guru, anggota Satgas Pamtas (Satuan Tugas Pengamanan Perbatasan) TNI juga ikut mengajar di sini," ujar Sofyanus.
Sofyan menyadari tidak bisa banyak dari pemerintah. Meski begitu, dia menyampaikan keinginanya agar pemerintah sedikit memperhatikan pendidikan di dusun terisolir tersebut. "Setidaknya pemerintah memberi bantuan buku-buku," ujar Sofyanus.
Kondisi yang tampak di Desa Pala Pasang, tak jauh dari desa itu, hampir sama. Anak-anak belajar di bangunan sekolah yang berlantaikan tanah dan beratapkan seng.
Di Dusun Tembawang, yang letaknya tak jauh dari Dusun Gun Jemak, kondisinya lebih memprihatinkan. Di sana tak ada sekolah. Anak-anak di dusun itu terpaksa bersekolah di Kampung Sepit yang wilayahnya masuk Serawak, Malaysia. Wilayah itu bagian negeri Jiran yang terdekat dari dusun itu. Bisa ditempuh dengan berjalan kaki.
<!--more-->
Warga keluar masuk Indonesia - Malaysia tanpa paspor, hanya mengandalkan kedekatan sebagai sesama suku Dayak Bidayuh. Sebagian penduduk suku ini mendiami di Kampung Sepit, wilayah Serawak.
Masyarakat yang hidup di perbatasan tak banyak yang memiliki kartu tanda penduduk, terlebih lagi paspor. Jumlah penduduk yang mempunyai KTP tak lebih dari separuh. Sulitnya mengurus surat-surat menjadi salah satu faktor penyebabnya. Untuk mendapatkan KTP, penduduk di sana harus mengurus di Entikong yang jaraknya sekitar 3-4 jam. Apabila kondisi cuaca sedang tidak bagus, perjalanan menggunakan sepeda motor menuju Entikong bisa lebih dari 4 jam.
Sulitnya akses jalan dan minimnya fasilitas pendidikan membuat warga di ujung barat Tanah Borneo ini rata-rata hanya bersekolah sampai SD. Hanya sebagian kecil yang melanjutkan sekolah hingga SMP atau SMA. Bahkan, hampir tidak ada penduduk di sana yang pernah belajar sampai tingkat perkuliahan.