Kasus Meiliana Ingatkan Kolom Gus Dur: Islam Kaset dan Kebisingan
Reporter
Tempo.co
Editor
Syailendra Persada
Minggu, 26 Agustus 2018 10:17 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Belakangan, polemik soal suara azan kembali diperbincangkan. Khususnya, setelah Pengadilan Negeri Medan memvonis Meilina, seorang ibu rumah tangga, penjara 1 tahun 6 bulan karena menistakan agama, Perempuan 56 tahun ini dituduh melecehkan Islam. Padahal, ia hanya menyampaikan keluhan soal suara azan yang terlalu keras dari masjid di depan rumahnya.
Baca: Putusan Meiliana, Kementerian Agama Ingatkan 6 Aturan Toa Masjid
Kementerian Agama pun sampai kembali mengingatkan masyarakat bahwa ada aturan Departemen Agama yang mengatur soal penggunaan pengeras suara di masjid. Aturan ini tertuang dalam Instruksi Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Nomor Kep/D/101/1978. Dirjen Bimas Islam, Muhammadiyah Amin, mengatakan aturan tersebut masih berlaku. "Hingga saat ini, belum ada perubahan," kata Muhammadiyah Amin, seperti dikutip dari situs resmi Kementerian Agama.
Mantan Presiden Abdurrahman Wahid atau biasa disapa Gus Dur juga pernah menyampaikan pandangannya soal pelantang suara di masjid. Tulisan ini terbit di rubrik Kolom Majalah Tempo edisi 20 Februari 1982. Berikut pandangan Gus Dur terkait pengeras suara di masjid:
Islam Kaset dan Kebisingannya
SUARA bising yang keluar dari kaset biasanya dihubungkan dengan musik kaum remaja. Rock alaupun soul, iringan musiknya dianggap tidak bonafide kalau tidak ramai.
Kalaupun ada unsur keagamaan dalam kaset, biasanya justru dalam bentuk yang lembut. Sekian buah baladanya Trio Bimbo, atau lagu-lagu rohani dari kalangan gereja.
Sudah tentu tidak ada yang mau membeli kalau ada kaset berisikan musik agama yang berdentang-dentang, dengan teriakan yang tidak mudah dimengerti apa maksudnya. Tetapi ternyata ada 'persembahan' berirama, yang menampilkan suara lantang.
Bukan musik keagamaan, tetapi justru bagian integral dari upacara keagamaan: berjenis-jenis seruan untuk beribadat, dilontarkan dari menara-menara masjid dan atap surau.
Apalagi malam hari, lepas tengah malam di saat orang sedang tidur lelap. Dari tarhim (anjuran bangun malam untuk menyongsong saat shalat subuh) hingga bacaan Quran dalam volume yang diatur setinggi mungkin.
Barangkali saja agar lebih 'terasa' akibatnya: kalau sudah tidak dapat terus tidur karena hiruk-pikuk itu, bukankah memang lebih baik bangun, mengambil air sembahyang dan langsung ke masjid?
<!--more-->Bacaan Al Quran, tarhim dan sederet pengumuman, muncul dari keinginan menginsafkan kaum muslimin agar berperilaku keagamaan lebih baik. Bukankah shalat subuh adalah kewajiban? Bukankah kalau dibiarkan tidur orang lalu meninggalkan kewajiban? Bukankah meninggalkan kewajiban termasuk dosa? Bukankah membiarkan dosa berlangsung tanpa koreksi adalah dosa juga?
Kalau memang suara lantang yang mengganggu tidur itu tidak dapat diterima sebagai seruan kebajikan (amar ma'ruf), bukankah minimal ia berfungsi mencegah kesalahan (nahi munkar)? Sepintas lalu memang dapat diterima argumentasi skolastik seperti itu.
Ia bertolak dari beberapa dasar yang sudah diterima sebagai kebenaran: kewajiban bersembahyang, kewajiban menegur kesalahan dan menyerukan kebaikan. Kalau ada yang berkeberatan, tentu orang itu tidak mengerti kebenaran agama.
Atau justru mungkin meragukan kebenaran Islam? Undang-undang negara tidak melarang. Perintah agama justru menjadi motifnya. Apalagi yang harus dipersoalkan? Kebutuhan manusiawi bagaimanapun harus mengalah kepada kebenaran Ilahi. Padahal, mempersoalkan hal itu sebenarnya juga menyangkut masalah agama sendiri. Mengapa diganggu?
<!--more-->Nabi Muhammad mengatakan, kewajiban (agama) terhapus dari tiga macam manusia: mereka yang gila (hingga sembuh), mereka yang mabuk (hingga sadar), dan mereka yang tidur hingga bangun. Selama ia masih tidur, seseorang tidak terbebani kewajiban apa pun.
Allah sendiri telah menyediakan 'mekanisme' pengaturan bangun dan tidurnya manusia dalam bentuk metabolisme badan kita sendiri. Jadi tidak ada alasan untuk membangunkan orang yang sedang tidur agar bersembahyang - kecuali ada sebab yang sah menurut agama, dikenal dengan nama 'illat. Ada kiai yang menotok pintu tiap kamar di pesantrennya untuk membangunkan para santri.
'Illat-nya: menumbuhkan keiasaan baik bangun pagi, selama mereka masih.di bawah tanggungjawabnya. Istri membangunkan suaminya untuk hal yang sama, karena memang ada 'illat: bukankah sang suami harus menjadi teladan anak-anak dan istrinya di lingkungan rumah tangganya sendiri?
Tetapi 'illat tidak dapat dipukul rata. Harus ada penjagaan untuk mereka yang tidak terkena kewajiban: orang jompo yang memerlukan kepulasan tidur, jangan sampai tersentak. Wanita yang haid jelas tidak terkena wajib sembahyang. Tetapi mengapa mereka harus diganggu? Juga anak-anak yang belum akil baligh (atau tamyiz, sekitar umur tujuh delapan tahunan, menurut sebagian ahli fiqh mazhab Syafi'i).
Baca artikel lain Majalah Tempo di sini
Tidak bergunalah rasanya memperpanjang illustrasi seperti itu: akal sehat cukup sebagai landasan peninjauan kembali 'kebijaksanaan' suara lantang di tengah malam--apalagi kalau didahului tarhim dan bacaan Al Quran yang berkepanjangan. Apalagi, kalau teknologi seruan bersuara lantang di alam buta itu hanya menggunakan kaset! Sedang pengurus masjidnya sendiri tenteram tidur di rumah.
Baca perjalanan kasus Meiliana di kanal Tempo.co