Usut Suap Bupati Jombang, KPK Temukan Potensi Penyimpangan SJSN
Reporter
Dewi Nurita
Editor
Ninis Chairunnisa
Selasa, 6 Februari 2018 07:23 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan beberapa kelemahan dan potensi penyimpangan dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) saat mengusut kasus dugaan suap yang menjerat Bupati Jombang, Nyono Suharli Wihandoko.
Berdasarkan kajian KPK, salah satu kelemahan SJSN terletak pada mekanisme pembiayaan terhadap Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) yang dikenal dengan dana kapitasi. "Kelemahan itu berpotensi membuka peluang terjadinya korupsi," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah lewat keterangan tertulis pada Senin, 5 Februari 2018.
Baca: OTT Bupati Jombang, Ketum Golkar: Musibah Ini Memprihatinkan
Dalam perkara suap ini, KPK menduga Pelaksana tugas Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Jombang Inna Silestyanti menyuap Bupati Jombang Nyono dengan mengutip dana kapitasi kesehatan dari 34 Puskesmas di Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Inna memberikan uang itu kepada Nyono agar ia ditetapkan sebagai Kepala Dinas Kesehatan secara definitif.
Febri mengatakan, kajian KPK menunjukkan kelemahan dan potensi penyimpangan dalam dana kapitasi terbagi menjadi empat aspek. Pertama, dalam hal regulasi. Aturan pembagian jasa medis dan biaya operasional berpotensi menimbulkan moral hazard dan ketidakwajaran.
Regulasi SJSN, menurut Febri, juga belum mengatur mekanisme pengelolaan sisa lebih dana kapitasi di Puskesmas. "Aturan penggunaan dana kapitasi kurang mengakomodasi kebutuhan Puskesmas," kata dia.
Baca: Sebesar Ini Kutipan Dana Puskesmas untuk Menyuap Bupati Jombang
Kedua, dalam hal pembiayaan. Ada potensi fraud atas diperbolehkannya perpindahan peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) dari puskesmas ke FKTP swasta. Selain itu, efektivitas dana kapitasi dalam meningkatkan mutu layanan masih rendah.
Ketiga, mengenai tata laksana dan sumber daya. KPK menemukan lemahnya pemahaman dan kompetensi petugas kesehatan di puskesmas dalam menjalankan regulasi. "Sehingga petugas Puskesmas rentan menjadi korban pemerasan berbagai pihak," kata dia.
Kelemahan keempat, kata Febri, soal pengawasan. Anggaran pengawasan dana kapitasi di pemerintah daerah tidak tersedia.
Febri mengatakan, kajian terhadap SJSN telah dilakukan KPK sejak 2013. "Hasil kajian tersebut juga telah disampaikan kepada pihak terkait," kata dia.
Selain itu, kata Febri, KPK memaparkan kembali tindak lanjut kajian tersebut kepada BPJS Kesehatan, Ombudsman, Kementerian Kesehatan, BPKP, dan Direktorat Jenderal Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri. Menurut KPK, mekanisme pengelolaan dana kapitasi perlu terus dijaga agar tidak terjadi penyimpangan dalam pengelolaannya. "Hal ini mengingat besaran dana yang dikelola, bervariasinya kompetensi penyelenggara, dan kualitas FKTP kesehatan di Indonesia," kata dia.
Untuk itu, Febri mengatakan KPK mendorong kementerian dan lembaga negara untuk memonitoring dan mengevaluasi, khususnya terhadap utilisasi dana kapitasi di Puskesmas, serta meminta masing-masing pihak untuk menyusun rencana aksi sesuai dengan rekomendasi yang telah disampaikan KPK untuk meminimalkan sumber permasalahan dalam mekanisme pembayaran dana kapitasi ke FKTP.
"Sehingga mencegah terjadinya korupsi," kata Febri. Kajian KPK itu, menurut dia, merupakan salah satu upaya dalam pencegahan korupsi dengan melakukan pencegahan dini melalui kajian sistem, sesuai amanah Pasal 14 Undang-Undang 30 Tahun 2002 tentang KPK.