TEMPO Interaktif, Denpasar:Daerah-daerah penghasil minyak dan gas meminta pemerintah transparan dalam menghitung bagi hasil pertambangan minyak dan gas. Daerah menilai mekanisme penghitungan selama ini menimbulkan kecurigaan adanya ketidakadilan dalam pembagian itu.Hal ini disampaikan Ketua Forum Daerah Penghasil Migas H Alex Noerdin setelah membuka rapat kerja di Kuta, Bali, kemarin."Kami meminta BP Migas (Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi) memberikan kopi data produksi investor pemegang kontrak dan Pertamina," kata dia. Dengan cara itu, daerah dapat menghitung sendiri besaran yang akan diterima tanpa rasa curiga.Transparansi, kata Bupati Musi Banyuasin ini, juga mengenai perincian alokasi dana dalam proses produksi. Misalnya dana yang disebut-sebut sebagai cost recovery. "Selama ini kami tidak paham sebenarnya untuk apa saja dana itu," tuturnya.Menurut dia, dana ini digunakan juga untuk pengobatan anggota staf asing hingga membiayai kegiatan bermain golf. Logikanya, kata Alex, cost recovery akan semakin kecil seiring dengan semakin lamanya sebuah perusahaan beroperasi. "Kami patut tahu karena makin besar dana itu akan makin kecil jatah yang diterima daerah," ujar dia.Selain soal transparansi, Alex melanjutkan, daerah mengeluhkan soal keterlambatan pembayaran jatah bagi hasil itu. Tahun ini, misalnya, jatah yang mestinya dibayarkan pada 1 April baru dibayarkan pemerintah pusat pada 27 Juli. "Apalagi jumlahnya pun turun drastis," kata Alex. "Akibatnya, defisit anggaran daerah sangat besar."Untuk mengatasi defisit itu, daerah juga mendesak pemerintah pusat memberikan izin agar bisa meminjam kepada bank dengan jaminan anggaran daerah tahun berikutnya.Sementara itu, untuk mencegah keterlambatan itu, Forum Daerah mengusulkan agar pembayaran bagi hasil sebesar 6 persen langsung dilakukan oleh investor tanpa melalui pemerintah pusat. l Rofiqi Hasan
Pemerintah Didorong Segera Rampungkan Revisi UU Migas
3 Oktober 2017
Pemerintah Didorong Segera Rampungkan Revisi UU Migas
Pemerintah diminta segera mengambil sikap ihwal revisi Undang-undang Minyak dan Gas. Pengurus Serikat Pekerja Satuan Kerja Khusus Migas Bambang Dwi Djanuarto?menilai pemerintah kurang responsif dalam menyelesaikan revisi UU Migas.
Mengesahkan undang-undang baru sebagai pengganti atau revisi UU Minyak Bumi dan Gas (Migas) Nomor 22 Tahun 2001 adalah hal mendesak yang harus dilakukan pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla dan DPR pada akhir tahun ini. Mengingat undang-undang ini telah mengalami tiga kali uji materi Mahkamah Konstitusi (2003, 2007, dan 2012), di mana Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan pembatalan banyak pasal dari undang-undang tersebut.