Mempertahankan Iklagom, Tanah Air Suku Moi Papua
Reporter
Arkhelaus Wisnu Triyogo
Editor
Juli Hantoro
Sabtu, 23 Desember 2017 07:25 WIB
TEMPO.CO, Sorong - Papua menyimpan hutan yang kaya. Kini kekayaan hutan Papua jadi incaran koorporasi besar. Tortimus Safisa, seorang tokoh adat Suku Moi, di Kabupaten Sorong, Papua Barat menunjukkan salah satu kekayaan yang masih tersisa bagi sukunya.
Tortimus membawa Tempo menuju hutan gambut yang masih rimbun. Berjalan sekitar dua kilometer dari pintu lembah hutan Kampung Klaso, Distrik Klaso, Tortimus berhenti di dekat pohon kayu tikar dan kayu ular yang menjuntai setinggi sekitar lima meter. “Tanah ini tempat yang sudah dijanjikan Tuhan untuk kita. Di alam ini sudah diciptakan untuk tumbuh lagi,” kata Tortimus.
Tortimus menyebutnya sebagai Ikaglom, sebuah pelataran lahan gambut yang hijau dan tak jauh dari aliran sungai. Dalam bahasa suku Moi, ia menjelaskan daerah ini disebut “ik” berarti tanah dan “kaglom” berart air. “Dia (tanah) bergabung bersama air,” kata Tortimus, Kamis 9 November 2017.
Baca juga: Menteri Siti Siapkan Strategi Penyelesaian Hutan Adat
Tak jauhnya darinya, Salmon Malak berdiri memegang pohon kayu ular. Kepala Kampung Klaso itu mengatakan kayu jenis benalu itu, jika dibelah, akan mengeluarkan air segar. Namun, di hutan itu ia tak membelah kayu. “Hutan ini memang dari dulu sampai sekarang seperti ini, orang memang tidak pernah berkebun di wilayah ini. Wilayah ini masuk wilayah yang tidak pernah dibongkar,” kata Salmon.
Hutan Lembah Klaso adalah hutan yang terletak sekitar 80 kilometer dari Kota Sorong, Papua Barat. Hutan ini berada di antara Distrik Klaso dan Distrik Moraid, Kabupaten Sorong. Masyarakat membaginya menjadi dua bagian wilayah hutan: sisi utara yang menjadi wilayah permukiman sekaligus wilayah berburu dan sisi selatan yang menjadi wilayah adat. Keduanya dibatasi oleh jalan kendaraan yang belum jadi.
<!--more-->
Manajer Program Yayasan Bentang Nusantara (Bentara) Papua, Yanuarius Anouw, mengatakan hutan lembah ini adalah hutan yang menjadi incaran perusahaan kelapa sawit dan korporasi. Ia memperhitungkan sekitar 60-70 persen hutan di Kabupaten Sorong telah dikuasai korporasi. “Hutan ini yang tersisa,” kata Yanuarius di sela-sela acara Pemuda Menyatu dengan Alam pada November lalu.
Salmon Malak bercerita mampu berjam-jam mengelilingi hutan lembah Klaso. Dua kilometer berjalan dari pintu masuk di Kampung Klaso, vegetasi tumbuhan makin tinggi dan makin rapat di lahan gambut yang sedang diurus menjadi hutan adat itu. Ia menganggap hutan ini merupakan satu-satunya hutan yang tersisa dari masyarakat adat Suku Moi. Pembukaan lahan untuk kegiatan korporasi menjadi penyebabnya.
Baca juga: Pemerintah Berjanji Carikan Pasar untuk Hasil Hutan Adat
Berkali-kali korporasi menawar lahan milik masyarakat adat untuk membuka usahanya. Namun, berkali-kali juga masyarakat adat bersepakat untuk menolaknya. Menurut Salmon, penolakan tersebut karena korporasi yang tak mempedulikan hak pemilik adat. "Dia bawa kayunya pergi, tapi tidak membangun masyarakat di sini," ujarnya.
Berdasarkan ketentuan adat pula, Salmon menjelaskan perusahaan harus berkoordinasi dengan pemilik hak wilayah untuk mencapai kesepakatan. Syarat utamanya adalah tidak boleh memasuki lahan yang berstatus lahan adat. “Saya bicara tanah adat, maka ada juga aturannya. Semua aturan hukum kembali ke adat,” kata Salmon.
<!--more-->
Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Moi se-Indonesia Isai Onesimus Paa mengatakan setidaknya terjadi beberapa kali penolakan masyarakat suku Moi terhadap investasi yang masuk. Pada Mei 2016, misalnya, Onesimus menceritakan adanya penolakan warga Distrik Klaso atas izin sebuah perusahaan yang ingin mengonversi sekitar 9.000 hektare hutan untuk perkebunan kelapa sawit.
Ones menjelaskan sebelum penolakan, pihak perusahaan melakukan pertemuan dengan beberapa warga distrik Klaso untuk mendesak masyarakat melepaskan lahan lembah Klaso. Masyarakat tetap menolak dengan menduduki kantor DPRD Kabupaten Sorong untuk mencabut izin. "Suku Moi yang punya hak atas wilayah ini menghadang. Mereka akhirnya tidak lagi ikut pertemuan," kata Ones.
Kepala Kampung Sbaga Oskar Ulimpa menjelaskan sejumlah perusahaan kayu berusaha melego lahan hutan adat hingga batas sungai Ikaglom di dalam hutan tersebut. “Tapi kami tolak, Dewan Adat langsung tolak,” ujarnya. Penolakan tersebut karena pihak perusahaan tidak mampu memenuhi syarat untuk menjamin kehidupan penduduk dan perusahaan menolak hak kepemilikan lahan atas warga.
Namun, Oskar patut khawatir. Sebab, hingga kini Dewan Adat Suku Moi tidak memiliki aturan tertulis agar setiap keluarga pemilik lahan tidak menjual lahan miliknya kepada perusawaah penawar. “Setiap marga memiliki hak untuk menjual itu. Itu terserah dia,” ujarnya. Menurut dia, ada kemungkinan setiap keluarga menjual dengan sejumlah bujukan perusahaan dan tuntutan hidup pemilik lahan untuk menjualnya. “Seperti orang sekarang perlu untuk biasa sekolah.”
Perwakilan Lembaga Masyarakat Adat Suku Moi, Soleman Mobalin, pun membenarkan tak adanya kontrol dari dewan adat agar lahan keluarga atau marga tak menjual lahan mereka. “Itu hak setiap marga pemilik lahan untuk menjual,” katanya.
Soleman menyebutkan hingga kini masyarakat adat berfokus untuk melakukan pemetaan sebagai syarat penetapan hutan adat melalui Peraturan Daerah. Berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 32 tahun 2015 tentang Hutan Hak, identifikasi sejarah masyarakat adat, letak wilayah adat, hukum adat, menjadi syarat untuk penetapan hutan adat. “Perusahaan tidak ada yang bisa masuk jika hutan adat sudah disahkan,” ujarnya.
Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Hadi Daryanto mengatakan kemunculan Peraturan Menteri LHK Nomor 32/2015 tentang Hutan Adat itu merupakan bentuk perlindungan negara terhadap masyarakat adat. Menurut dia, status hutan adat tidak mengganti fungsi hutan seperti yang diatur dalam Undang-Undang Nomo 41 tahun 1999 tentang Kehutanan yang mengatur pembagian fungsi hutan menjadi hutan konservasi, hutan produksi, dan hutan lindung.
Kepala Distrik Klaso sekaligus Ketua Dewan Suku Moi Kalaben, Dance Ulimpa, mengakui kawasan hutan milik masyarakat adat Suku Moi di hutan lembah Klaso, Papua Barat, menjadi incaran perusahaan perkebunan kelapa sawit. Ia mengatakan masyarakat suku Moi tidak ingin hutan adat dirusak oleh korporasi baik untuk perkebunan kelapa sawit maupun usaha perkayuan. "Karena hal tersebut berpotensi menghilangkan sumber penghidupan mereka," ujarnya.