6 Orang Meninggal Akibat Difteri selama Desember 2017
Reporter
Indri Maulidar
Editor
Rina Widiastuti
Selasa, 12 Desember 2017 08:00 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Angka kematian akibat penyakit menular difteri bertambah. Sepanjang Desember saja, enam orang telah meninggal akibat bakteri yang menyerang saluran pernapasan bagian atas itu. Jumlah kematian akibat difteri meningkat menjadi 38 dari 32 kasus selama Januari-November 2017.
Direktur Surveilans dan Karantina Kementerian Kesehatan, Jane Soepardi, mengatakan, hingga Senin, 11 Desember 2017, ada lebih dari 600 laporan pasien difteri dirawat di 20 provinsi. Jumlah ini masih bisa terus bertambah karena imunisasi ulang bagi anak berusia 0-19 tahun baru dilaksanakan secara serentak, Senin, 11 Desember 2017. “Masih ada laporan penambahan pasien difteri di daerah-daerah,” katanya kepada Tempo, Senin, 11 Desember 2017.
Baca: MUI Ingatkan Vaksin untuk Imunisasi Difteri Boleh Diberikan
Jawa Timur menjadi salah satu provinsi terparah dalam kasus difteri. Sepanjang bulan ini saja, Dinas Kesehatan Provinsi merawat 62 pasien difteri, satu di antaranya meninggal. Jumlah ini meningkat dari 265 kasus difteri sepanjang Januari-November 2017 dengan 11 kematian. “Temuan terbanyak ada di Kabupaten Pasuruan,” kata Kepala Dinas Kesehatan, Kohar Hari Santoso. Provinsi ini lalu menetapkan status kejadian luar biasa difteri. Adapun Kementerian Kesehatan belum akan menetapkan status wabah atas merebaknya penyakit menular ini.
Difteri adalah penyakit menular akibat bakteri yang menyerang selaput lendir pada hidung dan tenggorokan. Penyakit ini menyebabkan kematian karena bakteri menyumbat saluran pernapasan, menimbulkan komplikasi miokarditis atau radang pada dinding jantung bagian tengah, dan berakhir dengan gagal ginjal serta gagal sirkulasi. Gejalanya adalah demam hingga 38 derajat Celsius, munculnya selaput putih di tenggorokan, rasa sakit saat menelan, leher membengkak, serta sesak napas dan suara mengorok.
Penyakit ini sebenarnya dapat dicegah lewat program imunisasi wajib difteri, pertusis, dan tetanus (DPT) yang diberikan kepada anak sejak berusia dua tahun. Namun, menurut Kementerian Kesehatan, kasus ini kembali merebak karena sebagian orang tua menolak anaknya diimunisasi dengan alasan keagamaan maupun hal lainnya. Data Kementerian menyebutkan, 66 persen penderita difteri belum menjalani imunisasi.
Baca: 22 Balita Pengidap Difteri Dirawat di RSPI Sulianti Saroso
Akibatnya, Senin, 11 Desember 2017, Kementerian Kesehatan dan tiga provinsi serentak menggelar imunisasi ulang untuk menangkal penyebaran difteri lewat program Outbreak Response Immunization (ORI). Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten mencatat, pada hari pertama pelaksanaan ORI, puluhan ribu anak disuntik vaksin. Targetnya, delapan juta anak harus sudah diimunisasi ulang dalam dua pekan ke depan. “Baik yang sudah pernah diimunisasi atau belum, harus diimunisasi ulang karena, kalau tidak, bisa menyebabkan kematian,” kata Menteri Kesehatan Nila Moeloek.
Adapun Jawa Barat—sebagai provinsi dengan kasus difteri kedua terbanyak setelah Jawa Timur—telah menyediakan stok vaksin DPT tambahan sejak kasus ini merebak pada awal tahun lalu. Provinsi itu menargetkan 3,6 juta anak sudah diimunisasi ulang hingga akhir tahun. “Program imunisasi dilakukan di pos pelayanan terpadu, pusat kesehatan masyarakat, dan di sekolah-sekolah,” kata Kepala Seksi Surveilans dan Pencegahan Penyakit Dinas Kesehatan Jawa Barat, Yus Ruseno.
Yos mengatakan, hingga awal Desember ini, ada 141 pasien difteri di provinsi tersebut. Sebanyak 14 di antaranya meninggal dunia. Jumlah ini meningkat dari 10 korban sepanjang Januari-November 2017.
AHMAD FIKRI | M. ROSSENO AJI