Kisah Muhammad Yamin dan Teks Sumpah Pemuda
Reporter
Tempo.co
Editor
Juli Hantoro
Sabtu, 28 Oktober 2017 11:09 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Salah satu ikrar dalam teks Sumpah Pemuda adalah tentang bahasa. Dalam Kongres Pemuda II, 28 Oktober 1928 yang digelar di Jakarta, masalah ini sempat menjadi perdebatan.
Sejumlah kubu menginginkan penggunaan bahasa Melayu seperti yang diungkap dalam Kongres Pemuda I, dua tahun sebelumnya. Bahasa Melayu—tepatnya Melayu Riau—dipilih karena telah menjadi bahasa pergaulan masyarakat pesisir.
Kubu lain menginginkan adanya bahasa Indonesia, seperti yang diutarakan Mohammad Tabrani dari Jong Java dalam kongres pertama. Alasannya: untuk menyamakan "bahasa" dengan "nusa" dan "bangsa" Indonesia.
Masalah pelik ini membuat Muhammad Yamin, wakil Perhimpunan Pemuda Sumatera atawa Jong Sumatranen Bond berpikir keras. Yamin saat itu menjadi sekretaris sidang sibuk berpikir tentang poin bahasa dalam teks Sumpah Pemuda itu. Dalam kongres itu, perwakilan dari sepuluh organisasi pemuda se-Hindia Belanda sepakat tentang identitas tanah air dan kebangsaan. Namun silang pendapat terjadi soal persamaan bahasa.
"Pak Yamin tidak ingin kongres berakhir tanpa keputusan seperti kongres pertama," ujar Kepala Bagian Koleksi Museum Sumpah Pemuda, Misman, seperti dikutip dari Majalah Tempo, 18 Agustus 2014.
Baca juga: Soegondo Djojopuspito, Perumus Sumpah Pemuda yang Terlupakan
Ketika Soenario menyampaikan pidato "Pergerakan Pemuda Indonesia dan Pemuda di Tanah Luaran", tangan Yamin menari di secarik kertas yang terletak di meja panjang ruang kongres—sebuah rumah kos di Jalan Kramat Raya 106, Jakarta Pusat.
"Ik heb een eleganter formulering voor de resolutie (saya punya rumusan resolusi yang luwes)," Yamin berbisik kepada Soegondo Djojopoespito, pemimpin kongres, seperti dituliskan Welmar dalam Mengenang Mahaputra Prof. Mr. H. Muhammad Yamin Pahlawan Nasional RI (2003). Sidang memang berlangsung dalam bahasa Belanda, bahasa pergaulan kaum intelektual kala itu. Potongan kertas tersebut berpindah tangan. Soegondo mengangguk dan menuliskan paraf, lalu mempersilakan Yamin memberikan penjelasan kepada peserta sebelum mengesahkannya sebagai hasil kongres. Lahirlah Sumpah Pemuda.
Baca juga: Sumpah Pemuda 2017: Perkaya Konten Positif di Media Sosial
Misman mengatakan, di bait ketiga, Yamin menggunakan "menjunjung tinggi bahasa persatuan" supaya bahasa daerah tidak dihilangkan. Bahasa Indonesia diambil dari bahasa Melayu, bahasa daerah dengan pengguna terbanyak ketiga—setelah Jawa dan Sunda—pada saat itu, karena Yamin menganggap bahasa ini paling berpotensi berkembang dan terstruktur. "Sudah memiliki sajak dan gurindam, tidak hanya di level pembicaraan," ujar Misman.
Setelah Yamin memimpin pembacaan ikrar teks Sumpah Pemuda tersebut, para peserta kongres, yang sebagian besar tidak tertampung di ruang tengah dan berdiri di halaman dinaungi pohon ketapang, bertepuk tangan dan memekikkan, "Hidup persatuan".