Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengatakan revisi UU ormas telah selesai dibahas pemerintah, di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK), Jakarta Selatan, 10 Juli 2017. TEMPO/Lidwina Tanuhardjo
TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengatakan pihaknya bakal memetakan wilayah yang aktif dalam penggunaan media sosial. Menurut dia, pemetaan ini untuk mengantisipasi hoax dan isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) menjelang pemilihan kepala daerah serentak atau pilkada 2018.
"Ini dukungan pemerintah untuk memetakan potensi konflik serta identifikasi kerawanan pra dan pasca-pilkada yang dioptimalkan," kata Tjahjo dalam pesan tertulisnya di Jakarta, Sabtu, 14 Oktober 2017.
Pemetaan penggunaan media sosial ini, kata Tjahjo, bakal melibatkan ahli teknologi informatika untuk memblokir media yang dinilai menyebarkan hoax dan kebohongan. Ia pun meminta pemerintah daerah mengalokasikan dukungan dana yang proporsional untuk melaksanakan sosialisasi pemilihan kepala daerah.
Tjahjo menyarankan penyelenggara pemilu dan pemerintah daerah merangkul tokoh masyarakat serta menjaga netralitas aparatur sipil negara. Menurut dia, pemerintah harus memberi sanksi yang nyata dan riil terhadap pelanggaran netralitas aparatur sipil negara (ASN). "Ini sebagai shock therapy bagi ASN lain," ujarnya.
Menurut Tjahjo, penyelenggara pilkada juga perlu bersinergi dengan media massa. Tujuannya menekan angka hoax. "Sehingga tidak dimanfaatkan untuk hoax oleh pihak yang tidak bertanggung jawab," katanya.
Pemetaan potensi konflik pilkada 2018 tidak hanya dilakukan Kementerian Dalam Negeri. Sebelumnya, Presiden Joko Widodo meminta jajaran kepolisian memetakan potensi kerawanan konflik menjelang pilkada. Dia menyebut pemetaan kerawanan konflik ini sebagai bentuk kesiapan menjaga stabilitas politik.
Kepala Kepolisian RI Jenderal Tito Karnavian merespons perintah tersebut. Dia mengatakan meningkatnya tensi pilkada adalah situasi yang alami. Ia menegaskan siap mengawal jalannya pilkada 2018 agar tak sampai menimbulkan gangguan keamanan yang meresahkan masyarakat dan mengganggu stabilitas politik.