TEMPO Interaktif, bandung:Sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat yang tergabung dalam Jaringan Kearifan Tradisional Indonesia menilai, pertemuan Forum Asia Afrika untuk Hak Kekayaan Intelektual dan Sumber Daya Genetik, Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya yang berlangsung di Bandung 18-20 Juni, gagal memahami sejarah bertahannya komunitas adat dengan kemampuan dan keterampilan mereka untuk mengelola sumber daya hayati secara lestari dan berkelanjutan.Alasannya, dalam forum tersebut didominasi cara pandang ekonomi yang memisah-misahkan aspek aspek sumber daya genetik, pengetahuan tradisonal, dan ekspresi budaya. Hal ini tidak sesuai dengan kenyataan pada masyarakat tradisi yang memandang nilai religius dan etika sosial, norma dan aturan adat, pengetahuan lokal dan keterampilan sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan, ujar Koordinator Nasional JKTI, Rasdi Wangsa di Bandung, Rabu (20/6). JKTI merupakan fasilitator kelompok masyarakat sipil yang diantaranya terdiri dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, Institute for Global Justice, Yayasan KEHATI, Komphalindo, dan Majelis Adat Krama Sasak dalam Forum Asia Afrika. Menurut Rasdi, Forum Asia Afrika tersebut mestinya menggali lebih dalam kekayaan tradisi dan budaya yang berkembang di Asia-Afrika. Forum mestinya berani menyatakan bahwa sistem perlindungan yang hendak dikembangkan World Intellectual Property Organization (WIPO) belum cukup mengatur segala kekayaan tersebut. Perlindungan dengan pendekatan hak intelektual justru lebih membuka peluang terjadinya sengketa kekuasaan, rebutan sumber daya ekonomi dan menegasikan keberadaan masyarakat adat,katanya. Rasdi menilai proses pembuatan mekanisme perlindungan melalui WIPO cenderung menyingkirkan komunitas adat dari jantung-jantung kawasan sumber daya hayati dan menyerahkannya ke dalam pengelolaan privat. Negara berkembang membutuhkan perlindungan yang holistik, tidak hanya berkiblat pada perlindungan hak individual dan tujuan komersial saja,katanya.Erick Priberkah Hardi