TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Eksekutif Persatuan Perusahaan Air Minum Indonesia Subekti mengatakan pelayanan air minum Indonesia terburuk se-ASEAN. Pelayanannya kalah jauh dibanding semua negara di Asia Tenggara.
“Masyarakat kita mengkonsumsi air sangat tidak layak,” ujarnya dalam acara diskusi Forum Alumni Aktivis Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI), Jakarta, Minggu, 22 November 2015.
Baca juga:
Ia mengatakan, dari tingkat pelayanan, akses air minum yang aman di Indonesia baru mencapai 68,8 persen pada 2015, yang terdiri atas air minum pemipaan sebesar 25 persen dan non-pemipaan 43,8 persen. Nilai ini berada di bawah negara tetangga yang sudah mencapai 100 persen. “Sekitar 31,2 persen masyarakat mengkonsumsi air belum aman,” katanya.
Menurut Subekti, kendala utama yang dihadapi saat ini adalah persediaan air baku. Ia juga menilai komitmen kepala daerah untuk menyediakan air bersih masih kurang. Bukan hanya itu, masalah listrik, utang, sumber daya manusia, kebocoran air, hingga pendanaan juga menjadi tantangan untuk memberikan pelayanan yang terbaik.
Selain itu, kata dia, tak adanya regulasi yang mengatur tentang air minum dan sanitasi menghambat pelayanan. Menurut dia, Indonesia membutuhkan badan regulator nasional khusus menangani air minum dan sanitasi.
“Bentuknya terserah, tapi intinya regulasi mengenai air minum dan sanitasi perlu ada satu lembaga. Kalau perbankan ada OJK, telekomunikasi ada BRTI. Jadi bisa membuat aturan main terkait dengan air minum dan sanitasi,” ujarnya.
Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah pemerintah, pada 2019 pemerintah menargetkan akses air minum yang aman mencapai 100 persen, yang terdiri atas pemipaan 59,5 persen dan non-pipa 40,5 persen. Selain itu, kata dia, pemerintah menargetkan pertumbuhan jumlah pelanggan naik 59,5 persen dari 10 juta pelanggan menjadi 27 juta pelanggan.
“Tentu ini tidak bisa digunakan dengan cara-cara bisnis yang biasa. Harus ada kebijakan dari pemerintah di luar yang biasanya,” tuturnya.
Selama ini, ujar dia, pertumbuhan angka air minum setiap tahun hanya 7 persen. Dengan target yang mencapai dua kali lipat ini, kata dia, tentu diperlukan langkah yang luar biasa. “Ke depan, diperlukan tata kelola baru per air minuman. Misalkan harus ada undang-undang air minum dan sanitasi tersendiri.”
MAYA AYU PUSPITASARI