TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Utama Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan Fahmi Idris akan melakukan audiensi dengan Majelis Ulama Indonesia terkait dengan isu haramnya BPJS. Menurut dia, audiensi bersama MUI ini dihadiri pula oleh Dewan Jaminan Sosial Nasional.
"Informasi yang ada di media masih simpang-siur. Karena itu, kami akan lakukan audiensi dengan MUI terlebih dahulu," kata Fahmi melalui keterangan tertulis, Kamis, 30 Juli 2015.
Menurut Fahmi, MUI belum mengeluarkan fatwa haram, yang ada adalah rekomendasi hasil Ijtima Ulama Komisi Fatwa yang dikeluarkan beberapa hari lalu. "Sifatnya terkait dengan panduan jaminan kesehatan nasional dan BPJS Kesehatan," ucap Fahmi.(Lihat Video MUI Bantah Keluarkan Fatwa Haram BPJS)
Isi rekomendasi Ijtima Ulama, menurut yang dipahami BPJS, ada dua. Pertama, agar pemerintah membuat standar minimum atau taraf hidup layak dalam kerangka jaminan kesehatan yang berlaku bagi setiap penduduk tanpa melihat latar belakangnya.
Kedua, agar pemerintah membentuk aturan, sistem, dan format modus operandi BPJS Kesehatan supaya sesuai dengan prinsip syariah. "Secara tekstual, belum ada fatwa haram itu," ujar Fahmi.
Sebelumnya, MUI mengeluarkan keputusan bersama hasil Ijtima Ulama Komisi Fatwa Se-Indonesia V di Tegal, Jawa Tengah, beberapa hari lalu. MUI menilai sistem premi dan pengelolaan dana peserta BPJS Kesehatan tak sesuai dengan fikih.
"MUI berkesimpulan, BPJS saat ini tak sesuai dengan syariah karena diduga kuat mengandung gharar atau ketidakjelasan akad, yang memicu potensi maisir, dan melahirkan riba," tutur Wakil Ketua Dewan Pengurus Harian Dewan Syariah Nasional MUI Jaih Mubarok kepada Tempo.
Dalam prinsip syariah, kata Jaih, segala dana dalam BPJS harus diatur bagaimana status, kejelasan bentuk, dan jumlah akad atau iuran. Jika tidak, BPJS telah melakukan gharar atau penipuan.
INDRI MAULIDAR