TEMPO.CO, Yogyakarta - Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono X mempersilakan elemen masyarakat di Yogyakarta mengamankan persidangan di Oditur Militer Yogyakarta mendatang. Tapi aktivis mencela sikap Sultan itu.
Persidangan itu akan mengadili 12 anggota Komando Pasukan Khusus (Kopassus) TNI Angkatan Darat yang menyerang dan menembak empat tahanan di blok Anggrek nomor 5 Lembaga Pemasyarakatan Cebongan, Sleman, Yogyakarta, pada 23 Maret dinihari lalu. “Silakan saja. Enggak apa-apa. Justru lebih baik ya. Dalam arti membantu aparat pengadilan lain agar persidangan tertib dan lancar. Asalkan jangan mengganggu,” kata Sultan saat ditemui di Kepatihan Yogyakarta, Senin 3 Juni 2013.
Sebelumnya, Komandan Paksi Katon Muhammad Suhud menyatakan, beberapa elemen masyarakat Yogyakarta akan mengamankan persidangan itu. Dia berdalih untuk mengantisipasi orang yang akan mengacaukan jalan persidangan. Kelompok itu pula yang menemui 12 tersangka itu saat ditahan di Pomdam IV/Diponegoro Semarang pada 22 Mei lalu. Kedatangan mereka untuk memberikan dukungan moril kepada tersangka.
Koordinator Masyarakat Anti Kekerasan Yogyakarta (Makaryo) Tri Wahyu mencela sikap Sultan itu. Menurut dia, pernyataan Sultan sebagai pejabat publik dinilai aneh. Sebab, kewenangan pengamanan adalah polisi, bukan masyarakat. “Kalau masyarakat ikut persidangan dan memantau, tak masalah. Kalau masyarakat yang mengamankan, tak ubahnya Pam Swakarsa (Pasukan Pengamanan Masyarakat Swakarsa) masa Orde Baru. Ini ada apa?” kata Tri Wahyu saat dihubungi Tempo.
Dia menduga, pernyataan Sultan ada hubungannya dengan dukungan kelompok masyarakat terhadap Kopassus pasca-penembakan di LP Cebongan itu. Saat itu, Sultan menyatakan tidak bisa melarang kemunculan spanduk dukungan Kopassus. “Padahal substansi spanduk itu bermasalah. Yang masang spanduk juga enggak bayar pajak. Sultan enggak kritis soal ini,” kata Tri Wahyu.
Apalagi, ujarnya, Paksi Katon adalah organ pengamanan Keraton Yogyakarta. Menurut Tri, mestinya Sultan pun bisa mengevaluasi rencana Paksi Katon untuk melakukan pengamanan di persidangan militer itu. “Kalau pengamanan Keraton ikut mengamankan peradilan militer, ya bukan Paksi Katon namanya. Harus diganti,” kata Tri Wahyu.
PITO AGUSTIN RUDIANA