Menurut Andy, Kitab UU Hukum Pidana hanya mengatur tindakan perkosaan berupa penetrasi alat kelamin laki-laki ke alat kelamin perempuan. Tapi kasus Mei 1998, dia menuturkan, bentuk kekerasan seksual yang terjadi sangat beragam.
Sebanyak 85 korban saat itu (data Tim Pencari Fakta Tragedi Mei 1998), disiksa alat kelaminnya dengan benda tajam, anal, dan oral. "Bentuk-bentuk kekerasan tersebut belum diatur dalam pasal perkosaan Kitab UU Hukum Pidana," kata dia.
Kesulitan lain dalam pengungkapan kasus kekerasan seksual itu, kata Andy lagi, adalah pembuktian jejak semen atau sperma. "Ini berat, bagaimana mencari bukti semen yang sudah terjadi 12 tahun lalu," kata dia sambil menambahkan kalau saat itu tidak semua korban mau atau berani melapor dan membuat rekam medis.
Ketua SubKomisi Pemulihan, Sri Nurherawati, menyatakan kalau Tim Pencari Fakta 1998 sebenarnya sudah merekomendasi hasil temuannya ke Presiden. Sayangnya, dia mengungkapkan, untuk korban kekerasan seksual memang tidak ada tindakan khusus.
Padahal pasal 28 H ayat (2) UUD 1945 mengatur perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan. "Artinya perempuan korban kekerasan seksual yang mayoritas etnis Tionghoa atau pun yang mirip ciri fisiknya, juga berhak mendapat perlakuan khusus," ungkapnya.
Komnas Perempuan kini meminta Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban untuk mengembangkan sistem perlindungan dan dukungan bagi perempuan korban kekerasan dan saksi. Sistem tersebut harus memuat protokol yang sensitif jender, perlindungan bagi pendamping dan pembela hak asasi manusia, serta pengintegrasian Jakarta Protocol dalam proses pencarian fakta.
DIANING SARI