TEMPO Interaktif, Sidoarjo: Setelah warga Perumahan Tanggulangin Anggun Sejahtera menuntut pembayaran tunai 100 persen, kini giliran korban lumpur Lapindo dari desa lain menuntut pembayaran serupa. Kesepakatan ganti rugi cash and carry antara warga, pemerintah, dan Lapindo Brantas Inc pada 4 Desember 2006 diterjemahkan sepihak oleh Lapindo.“Kami heran kenapa cash and carry diterjemahkan menjadi cash, tapi dibayar keri (belakangan),” kata Abdul Karim, warga Desa Renokenongo di Sidoarjo pada Senin (16/4). Korban lumpur Lapindo, baik dari Perumtas maupun desa lain, menuntut pembayaran tunai 100 persen dan bukan dicicil 20 persen lebih dulu.Karim mengatakan, keputusan PT Minarak Lapindo Jaya sebagai perusahaan yang ditunjuk mengurus pembayaran ganti rugi dengan cara mencicil hanya mempersulit warga memiliki rumah kembali. Terutama bagi warga yang memiliki tanah sedikit dan rumah yang kecil. Keberatan pembayaran ini juga disampaikan Suprayitno, warga Desa Siring dan Lurah Desa Renokenongo Ny Mahmudah juga menyayangkan cara Lapindo Brantas membayar ganti rugi dengan cara mencicil. Cara itu tidak akan bisa menjamin warganya segera memiliki rumah baru pengganti rumah yang kini telah ludes diterjang lumpur. Menurut dia, mayoritas warga desanya memiliki tanah dan bangunan yang kurang dari 100 meter persegi. Bahkan ada yang tidak sampai 50 meter persegi. Untuk warga pemilik lahan dan bangunan seluas 50 meter hanya mendapatkan ganti rugi Rp 125 juta. Tapi, karena pembayaran dicicil, uang muka yang diterima cuma Rp 25 juta. “Dengan uang Rp 25 juta mana bisa membangun rumah,” ujarnya. Padahal pelunasannya masih dijanjikan selama dua tahun lagi terhitung habisnya masa kontrak. Karena itu bisa dipastikan uang Rp 25 juta malah habis untuk keperluan selama dua tahun menunggu sisa pembayaran. Sementara itu, Kepala Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo Sunarso menyayangkan aksi warga Perumtas itu. Menurut dia, ketentuan pembayaran ganti rugi dengan dicicil sebanyak 20 persen sebagai uang muka dan sisanya selama dua tahun telah berkekuatan hukum karena dimasukkan dalam Peraturan Presiden No 14 tahun 2007. Rohman Taufik