Tokoh 17 Agustus, Irfan Latifulloh Ubah Pendidikan di Pesantren
Editor
Rina Widisatuti
Jumat, 18 Agustus 2017 08:50 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Pulang dari London, Januari 2017, Irfan Latifulloh Sarhindi, 29 tahun, memilih kembali ke Cianjur. Master filsafat pendidikan lulusan University College London ini punya sebuah misi: membangun pendidikan di pesantren yang lebih terbuka dan membendung radikalisasi.
Irfan adalah generasi kelima pendiri Pondok Pesantren Darul Falah, Cianjur. Pesantren tersebut didirikan buyutnya, KH Mohammad Cholil, pada 1894. Dia gelisah melihat generasi muda di Cianjur yang semakin tidak toleran. Menurut dia, itu tergambar dari banyaknya warga Cianjur yang menjadi peserta aksi demontrasi 411 dan 212. "Massa yang turun ke jalan itu banyak disumbang dari Cianjur," katanya kepada Tempo, Sabtu, 12 Agustus 2017.
Sebenarnya upaya memperbarui pendidikan pesantren sudah dia lakukan sejak lama. Pada 2010, dia membuat pesantren kilat Salamul Falah dengan konsep child centred education. Metode belajar dibikin asyik. Anak-anak didorong untuk aktif di kelas. Pelajaran dikombinasi dengan permainan dan aktivitas fisik. Ruang kelas tidak disekat dan proses belajar tidak satu arah dari guru ke murid.
Baca juga: Tokoh 17 Agustus: Trik Winston Utomo Menjaring Pembaca Milenial
Pola pengajaran di pesantren umumnya, kata Irfan, hanya mengandalkan hapalan, sehingga anak-anak kurang dapat menelaah secara kritis isu-isu yang berkembang. "Walhasil, ada kecenderungan agama dijadikan alat ekonomi dan politik," kata dia.
Manakala gerakan radikal Islam semakin menguat, Salamul Falah mulai berfokus pada tema kebangsaan dan Islam yang moderat. Pengalamannya belajar di Inggris menguatkan tekad Irfan. “Indonesia pada 2045 tak hanya harus berdaulat secara ekonomi, tapi juga dewasa dalam religiusitas dan sosiokultural,” katanya.
Irfan hendak mengembangkan pola pikir yang terbuka serta sikap toleransi dan keberagaman. Salah satunya dengan menceritakan kembali kisah Nabi Muhammad SAW yang tetap menghormati dan menghargai umat Yahudi atau Nasrani. Anak-anak diajak menonton film antara lain Joshua Oh Joshua. Meski bukan film islami, menurut dia, film itu memberikan pelajaran yang baik.
Di dalam kelas yang tak memisahkan laki-laki dan perempuan, anak-anak juga diajarkan cara membuat kerajinan tangan. Sedangkan panitia mendapat pengetahuan tentang cara berorganisasi dan berbicara di hadapan publik.
Ketua Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (NU), KH Choirul Anam, sekaligus generasi keempat Pesantren Darul Falah, mendukung ide Irfan. Dia melihat intoleransi sebagai masalah nyata saat ini dan masa mendatang. Karena itu, menurut dia, santri perlu mendapat materi mengenai fikih politik. "Ini penting supaya keberagamaan dan kebangsaan tidak terjadi benturan," ujarnya.
Kegiatan Irfan sempat dikritik masyarakat di sekitar pesantren. "Mereka bilang itu keluar dari ajaran pesantren," kata Irfan. Namun dia tak berhenti. Dia terus mengkampanyekan keberagaman dan toleransi. Sabtu pekan lalu, dia bicara tentang radikalisme Islam dan pengaruhnya terhadap intoleransi dalam summer conference yang diadakan Pusat Hak Asasi Manusia Universitas Jember.
TIM TEMPO